Gadis berjilbab hijau itu menatapku sekilas sebelum kemudian duduk bersama seorang temannya di pojok ruangan. Ini adalah kali kedua aku melihatnya datang ke kafe tempatku bekerja. Darjad, yang sedang nge-game online, mengajakku memperhatikan gadis itu, dan aku pura-pura mengabaikannya dengan menyibukkan diri meracik kopi untuk seorang lelaki berbaju rapi yang baru datang. Kata Darjad, gadis itu salah satu bunga yang sedang mekar-mekarnya di kampus tempat dia kuliah.
“Sebagai pengamat kaum hawa, aku sangat paham tentang seluk beluk dirinya,” ucapannya yang memancing perhatianku itu tak kutanggapi. Entah dari mana dia tahu tentang gadis itu. Aku terus sibuk meladeni pelanggan. Ini memang sift kerjaku menggantikannya yang sift pagi. Sesuai jam kerja, seharusnya Darjad kini telah pulang. Tapi dasar mahasiswa pengangguran, dia tak juga mau hengkang dari kafe walau pekerjaan telah usai.
“Mau ngopi gratis di mana lagi selain di sini?” katanya kemarin.
“Gadis secantik dan secemerlang dia, ternyata dulu sempat mengenyam dunia pesantren lho Jib. Cocok untuk daftar nama dalam untaian doa-doamu, Jib-Mujib,” Darjad berseloroh lagi.
Kujawab ucapannya dengan derai tawa. Dan batinku sebenarnya berkata-kata. “Aku lebih paham tentangnya daripada kamu, Jad.”
“Katanya kaligrafimu bagus, Jib.”
Tiba-tiba Darjad mengalihkan topik pembicaraan. Sambil meracik kopi sesekali aku mencuri pandang ke arah gadis itu.
“Bos lagi pingin buat suasana religi di kafe ini. Aku ajukan namamu yang buat kaligrafi ya. Siapa tahu nasibmu berubah jika bakat terpendammu itu sudah diketahui orang banyak.”
Aku mengelak ucapan Darjad yang menuduhku sebagai anak pesantren yang ahli kaligrafi. Kukatan itu dengan sungguh-sungguh bahwa kemampuanku memang hanya abal-abal. Pujian itu tak pantas buatku.
“Postingan kaligrafimu di IG dapat like banyak Jib, komen-komennya juga positif. Percaya padaku, dan jangan terlalu merendahkan diri sendiri seperti itu, entar jadi orang rendahan beneran, kapok kamu, Jib.”