Di desa ini, sore hari adalah sebuah etalase. Penanda datangnya sore di desa ini adalah dung… dung… dung… saat beduk asar ditabuh, dan suaranya menggema, menghampiri kuping seluruh warga desa. Suara adzan hanya terdengar dari rumah-rumah yang memang dekat dengan masjid atau langgar. Orang-orang yang rumahnya jauh dari masjid atau langgar nyaris tak pernah mendengar kumandang adzan.
Saat mendengar beduk asar ditabuh, orang-orang yang sedang bekerja di sawah segera pulang ke rumah. Begitu juga dengan mereka yang sedang menggembala sapi, kerbau, atau kambing. Begitu juga dengan mereka yang sedang menyabit rumput atau mencari dedaunan untuk pakan ternak piaraan.
Saat mendengar beduk asar ditabuh, anak-anak perempuan atau gadis-gadis di desa ini segera bebersih rumah, menyapu halaman dan pekarangan rumah dengan sapu lidi. Jika musim kemarau, sapu lidi itu akan menebarkan debu ke arah mana angin bertiup. Sementara, anak-anak laki-laki biasanya bertugas menimba air untuk mengisi penuh-penuh jading, juga ada yang bebersih kandang. Mereka, seisi rumah, kemudian mandi bergantian di jeding yang sama. Membersihkan badan sendiri adalah kegiatan terakhir yang mereka lakukan.
Setelah itu, kebiasaan orang-orang desa ini adalah bersantai di sore hari. Ada yang memilih bercengkerama di teras rumah. Ada yang mengobrol di halaman depan rumah. Ada juga yang duduk-duduk di pinggir jalan desa di kursi gapura yang terbuat dari semen, lalu bertegur sapa dengan orang-orang yang melintas. Mereka mengobrol dan membincangkan apa saja; tentang sawah dan pekerangan serta tanamannya; tentang hewan-hewan ternak yang melahirkan dan berkembang biak atau yang sakit lalu mati; tentang saudara atau tetangga yang melahirkan atau yang sakit lalu mati. Anak-anak bersenda gurau dan bermain apa saja. Pemuda-pemudi saling melempar pandang dari seberang-seberang pekarangan.
Tapi seluruh ruang di sore hari di desa ini sesungguhnya adalah etalase seseorang yang bernama Jey. Dia menjadi pusat dan puncak keriuhan sore hari. Ia pemuda berperawakan gempal yang selalu mencoba untuk berpenampilan perlente atau necis —tentu menurut ukurannya sendiri. Tiap sore, seperti layaknya seorang santri, ia akan mengenakan peci hitam, teronggok agak miring ke kiri di kepalanya yang besar. Ia membungkus badannya dengan kemeja berlengan panjang, seringkali bercorak kotak-kotak. Kemeja itu selalu dimasukkan ke dalam dan dipadu dengan celana panjang dalam warna netral. Dan sendal lily selalu setia mengalasi sepasang kakinya yang besar.