Dalam satu dekade terakhir khilafah atau Negara Islam menjadi buah bibir yang memantik perhatian publik. Bukan hanya di kancah nasional, melainkan juga internasional. Pembicaraan ihwal khilafah tak kunjung usai. Mulai dari angkringan, kafe, diskusi-diskusi organisasi hingga seminar dan kuliah umum banyak yang membahas tema khilafah ini. Jangan-jangan, orang akan membiarkan diskusi ini terus mengalir, seolah tak memerlukan sebuah kesimpulan. Pun, sudah sekian tahun lamanya para cendekiawan berusaha mencari dalil dan argumentasi guna mengukuhkan fondasi Khilafah Islamiyah (Negara Islam).
Di Indonesia sendiri, terdapat beberapa kelompok atau organisasi yang santer menghembuskan ideologi ihwal penegakan Negara Islam. Di antaranya adalah; Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Laskar Jundullah, Jamaah Islamiyah (JI), dan lain-lain. Namun, yang paling gencar dan santer mengampanyekan berdirinya Negara Islam dari beberapa organisasi yang ada di Indonesia, yakni HTI.
Seperti diketahui bersama bahwa HTI termasuk salah satu eksponen gerakan Islam ideologis di Indonesia, yang mengusung cita-cita atau gagasan perlunya kembali kepada sistem khilafah. Sebab, menurutnya, khilafah mampu menjadi solusi semua problem yang dihadapi bangsa-bangsa dunia, tidak terkecuali Indonesia.
Walau begitu, gagasan ihwal berdirinya Negara Islam ini terus menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Begitu pula di Indonesia. Bagi kelompok yang pro, menilai bahwa sistem khilafah sebagai alternatif terbaik dalam menggantikan sistem pemerintahan yang diimpor dari Barat (demokrasi dan lainnya), yang oleh mereka dinilai telah gagal. Juga, sistem khilafah memiliki etos keadilan bagi semua hal, mampu melahirkan kehidupan yang baik dengan cara bertetangga dan bermasyarakat secara harmonis.
Lebih jauh lagi, mereka menganggap bahwa sistem khilafah mampu menciptakan masyarakat yang tidak hedonistik, sehingga diharapkan dapat juga menghilangkan problem kemiskinan di tengah masyarakat. Juga, mampu mengakhiri pengaruh pemilik modal (kelompok kapitalis) dalam pengambilan kebijakan yang selama ini dianggap sekadar berpihak kepada pemilik modal.
Sementara yang kontra, menganggap bahwa Negara Islam yang dihembuskan kelompok ideologi islamis adalah irasional dan ahistoris. Irasional mengadopsi sistem khilafah dalam konteks masa kini, mereka identifikasi melalui pelacakan setting dan struktur sosial suatu masyarakat. Ahistoris yang dimaksud adalah bahwa sistem khilafah sama sekali bukan sistem Islam, tetapi merupakan produk zaman, di mana sistem kenegaraan didasarkan pada tribe atau puak yang sangat mendominasi.
Saya tidak memandang bahwa Negara Islam itu jelek atau buruk sebagaimana yang diinginkan dalam artikel ini. Karena banyak Negara yang menerapkan daulah Islam mereka mampu hidup berdampingan dengan ragam keyakinan. Dan inilah hakikat dari Islam sebagai rahmatan lil’alamin.
Hanya saja yang menjadi problem adalah ketika Negara Islam itu dipaksakan untuk diterapkan dalam sebuah negara. Jika ini yang terjadi, maka konsep pemaksaan sebuah dogma akan melahirkan pemerkosaan terhadap hak asasi manusia, khususnya dalam hal agama atau keyakinan.
Berharap ke depan tidak lahir paham radikalisme yang memaksakan kehendak apapun nama dan konsepnya. Karena hal yang demikian akan menjadi polemik, pelik, kisruh, keruh, dan riak gelombang permusuhan dan perseteruan. Afwan!!!
Keren ustaz, sepertinya ustaz mengikuti tulisan-tulisan saya. Terimakasih pencerahannya ustaz. Ini sebagai pengayaan khazanah keilmuan bagi saya, selaku pemula. Ditunggu komentar-komentar selanjutnya ustaz.