DI KAFE BASABASI
Sebelum maghrib, sesaat
setelah senja membatalkan kedatangannya.
Kau tiba bersama angin
memesan manis pisang coklat dan pahit kopi.
Meja-meja dan bangku-bangku mulai sesak
dengan kisah, kumpulan cerita yang hampir masak.
Kompas sunyi menunjuk sudut ruangan.
Sedangkan kata-kata menyisir keheningan
di sela-sela surau tubuhmu.
Langit mulai deras menghujankan puisi
dan aku mulai menuliskan masa depan.
SELEPAS PULANG
Kita telah usai mencicip seruas tanah,
sebuah dinding hitam bertuliskan perjalanan.
Rebahlah kenang bersama gulir waktu
setelah kita tunaikan ia satu persatu.
Sekarang lagi musimnya orang berziarah
mengunjungi pusara, monumen masa lalu,
tempat bersejarah, dan darmawisata.
Kita roda yang melaju ke arah
yang telah kita tetapkan titik perhentiannya.
Sedangkan kepulangan adalah ingatan
seperti tempat-tempat yang telah kita singgahi
dan peristiwa kita kekalkan
pada genggaman tangan masing-masing.
Kemarilah, kita mekarkan ia di muara pandang
agar kita puas memandang lepas penat perjalanan
dipeluk mite-mite tembang kenangan.
KEPADA IBUNYA, SEORANG PEMUDA BERTANYA
Bu, mengapa kau menginginkan kedatanganku?
Sejak kau memilih hidup bersama seorang lelaki yang kusebut ayah, aku hanyalah mimpi pada waktu itu. Lalu Tuhan mengantarkanku padamu sebagai segumpal darah dan daging yang terbungkus denyut, setiap saat kauasuh dalam tubuhmu. Aku tak pernah benar-benar mengerti akan segala hal tentang waktu, perihal kedatangan dan kelahiran yang kalian rencanakan secara diam-diam.
Bu, sebenarnya apa arti kehadiranku?
Saat kau bermaksud memisahkan lelapku dari kesunyian di dalam tubuhmu, tanpa berembuk kau pertaruhkan penggalan cerita yang memenuhi sela-sela napas demi menyambut kedatanganku. Bersama erangan lirih diiringi kebahagiaan yang kauguratkan pada seutas senyum pipih, kau menyampaikan suatu kisah yang dulu kupahami sebagai kelahiran. Sedangkan saat ini, saat aku dewasa dan mulai mengerti bahwa pesanmu tak sesederhana berita kelahiran sebagai pertanda kedatanganku. Tapi lebih tepat bila disebut sebagai sebuah perjuangan yang tak bisa kuterka nominal harganya dan tak mampu kuukur seberapa besarannya.
Bu, kenapa aku harus menjadi dewasa?
Kau selalu menimangku dalam belaian waktu, menantiku tumbuh dan berkembang seperti halnya setangkai bunga yang mekar. Menuntun dan membangkitkan langkahku yang seringkali roboh oleh kecerobohanku sendiri. Aku rindu akan saat-saat itu. Jika diperkenankan memilih, sejujurnya aku masih ingin menjadi anak-anak. Kembali ke masa kecil, saat tangis dan tawa menjadi perkara yang bisa kunikmati sebagai kisah lugu, di mana segala persoalan tak kan menjadi bayang-bayang dalam pikiranku. Menyandarkan keningku di dadamu, siang dan malam, hingga dekapanmu enggan kaulepaskan.
Bu, dapatkah aku kembali menjadi anak kecilmu dulu?
Ternyata setelah aku menjadi dewasa, semua hal tak seindah dan semenyenangkan seperti apa yang aku pikirkan sewaktu aku masih kecil dulu. Terlalu banyak hal yang harus kupikirkan dan kuhadapi sendiri. Persoalan-persoalan hidup kian melimpah ruah, semakin rumit dan tak pernah habis hingga memadati isi kepalaku.
SEBELAS JUNI
: Kepada Perempuan yang Pernah Singgah di Hati
Kita tak pernah mengerti,
berapa harganya hari ini
sebab pagi tak pernah menyertakan label harga
yang dapat dibayarkan sewaktu-waktu.
Setiap hari, Tuhan memberi kita seduhan kopi dan susu
yang tak pernah surut dalam cangkir biru.
Dalam buai waktu
kita selalu ditimang untuk menjadi dewasa,
belajar menata kepala,
merias diri,
memilah wewangian sendiri,
menentukan pijakan untuk berjalan.
Teruslah mengembuskan langkah
pada jalanan yang sesak oleh kisah
dan jangan sesekali membalikkan tubuhmu
untuk kembali pada lebat hujan
sampai kau benar-benar yakin
bahwa di hadapanmu ada matahari
yang sedang menantimu
esok pagi.
NASIB PUISI
Tak banyak yang peduli pada puisi. Seringkali orang-orang menuliskan kata-kata semau mereka sendiri, tanpa memikirkan perasaan puisi. Setiap saat dan setiap waktu. Terkadang ia dipaksa menjadi kata-kata yang sangat menyedihkan, kadang juga menjadi kata-kata yang amat kasar dan bahkan ia menjadi sangat buas.
Puisi bukan mesin waktu atapun perangkat tata surya yang bisa bekerja setiap waktu. Puisi juga berhak lepas bernapas dan memilih hidupnya sendiri. Puisi juga bisa lelah dan kadang butuh istirahat. Kata-kata juga perlu disiram, dirawat, dan diberi makan agar ia dapat tumbuh menjadi puisi. Tapi, jangan selalu memaksa kata-kata untuk selalu tumbuh menjadi puisi.
HALTE SENJA
Tak ada keheningan
pada penantian kawanan bus kota
penjaga terlalu sibuk mengurai tangan
kaki-kaki berjejal, saling berebut jejak
melewati lorong loket antrean
lalu bersandar menunggu utusan tiba
mengantarkan karangan bunga.
Rumpun anak-anak anyir berlabuh
membawa keringat berbau hujan
lalu satu persatu tangan-tangan kerut
berkibas masuk melalui pintu bus kota
menuju perjalanan pulang, bergantian
menanggalkan tapak tilas kenangan.
Setiap saat memasuki petang
di halte senja, selalu ada yang datang
dan ada yang pergi, silih berganti.
ilustrasi: depositphotos.