“Keluar apa tidak kamu!?! Kalau tidak keluar, tak plintir buntutmu!!” terdengar teriakan keras Nyai Halimah dari jendela sebuah ruang pondok putri.
Mendengar teriakan Nyai Halimah, Qosim yang sedang mengamuk kesurupan menjadi lunglai dan rubuh. Raut yang semula kaku dengan mata merah, melotot dengan segenap urat nadi tampak dari pipi dan lengan tangannya, seketika luluh. Pucat ketakutan demi mendengar pekik teriakan Nyai Halimah.
Kiranya malam itu khodam Qosim sedang merasuk, karena tidak terima dulur ari-ari-nya menjadi bahan olokan teman sesama santri di pesantren. Santri-santri senior bersama pengurus seketika kalang kabut. Mendadak tubuh kecil Qosim meronta. Pintu-pintu kamar ditendang sekerasnya. Menantang siapa saja yang ditemuinya. Empat santri senior yang bertubuh gempal masih tak kuasa menahan amukan Qosim yang hanya bertubuh kecil itu. Kedua tangan dan kaki Qosim dipegangi, namun kekuatan dari alam lain mampu melepaskannya.
Qosim berteriak, meracau di bawah alam sadar. Beberapa santri senior yang mempunyai ilmu kebatinan, mencoba untuk merapal doa. Berusaha menenangkan, mengusir khodam Qosim yang merasukinya. Nihil.
Malam di pesantren begitu mencekam. Santri-santri yang masih kecil, diamankan oleh pengurus pondok. Mereka panik berlarian menghindari amukan Qosim. Sementara, santri yang dewasa dan beberapa pengurus mencoba menghalau Qosim. Menyembunyikan barang-barang berbahaya, seperti pisau, gunting, arit, pacul, dan barang lain yang membahayakan.
Amukan Qosim semakin menjadi. Ketika ada santri yang membacakan ayat kursi, mata Qosim menatap lebih tajam dari sebelumnya. Warna merahnya tampak semakin menyala dari yang semula. Qosim mengambil dampar lalu melemparkannya. Kemudian tertawa dan meracau lagi.
Kiai Hamim, sang pengasuh pesantren, kebetulan sedang keluar untuk menghadiri undangan pengajian di luar wilayah. Suasana malam di pesantren semakin riuh-menegangkan.
Kegaduhan di pondok laki-laki akhirnya terdengar sampai ndalem. Nyai Halimah yang masih terjaga menunggu kepulangan Kiai Hamim, mengintip dari jendela aula ruang pondok putri. Dengan hanya satu teriakan keras membahana, mampu meredam amukan Qosim. Suasana berangsur tenang kembali.