“Tak cukup hanya mengerti, tapi juga harus memahami,” pesan Pak Kiai saat mengkaji kitab Ihya Ulumuddin selepas salat Ashar.
Pesan ini yang selalu diingat oleh Qif dan membuatnya menjadi santri yang istimewa. Istimewa bukan karena menjadi santri yang cerdas atau santri yang berprestasi, tetapi santri yang bertutur dan bersikap dengan hati.
Qif adalah seorang santri yang memilih jalan perantauan di Pondok Pesantren Raudhatul Muta’allimin Kedung Cangkring, Jabon, Sidoarjo. Qif terbayang saat kali pertama memasuki wilayah Kedung Cangkring. Qif harus menaiki dokar untuk menuju lokasi pondok pesantren. Qif memilih duduk tepat di samping pak kusir, sedangkan orang tuanya duduk di belakangnya. Qif ingin merasakan sensasi menaiki dokar seakan-akan menjadi kusirnya.
Mungkin inilah yang disebut dengan “keberuntungan”. Tepat setelah kuda berjalan beberapa meter, sang kuda mengangkat ekornya. Tetiba sesuatu berwarna hijau kekuning-kuningan beraroma khas keluar dari balik ekornya dan jatuh berceceran di tengah-tengah jalan. Qif menjadi saksi hidup saat seekor kuda menunaikan hajat alaminya sebagai seekor binatang yang makan dan minum. Seketika hal tersebut membuat Qif “mabuk kuda” dan memilih pindah ke belakang.
Banyak pengalaman tak terlupakan yang dialami Qif selama mondok selain mengaji, salat berjamaah, dan lain-lain. Mulai dari mencuci baju sendiri, menjemurnya sendiri, hingga menimba air pun sendiri. Pernah suatu kali Qif harus rela memacu adrenalinnya saat hampir tenggelam di dalam sumur karena tak kuat menahan beban air saat menimba. Tentu saja hal ini terjadi disebabkan beberapa hal, antara lain karena postur tubuh Qif yang lebih memprihatinkan jika dibandingkan dengan ukuran timba sumur yang cukup gemuk sekaligus berat. Apalagi, otot-otot tangan Qif belum terbiasa melakukan pekerjaan-pekerjaan berat.
Ada satu kejadian yang tak akan dilupakan Qif seumur hidupnya, yakni peristiwa tak terduga pada hari Rabu, 22 November 2006. Ketika itu, tiba-tiba semua santri panik dan berteriak, “Wooiiiii, kiamat!!!!!!”