Umumnya, perkemahan atau kamping diikuti oleh orang yang circle pertemanannya dekat, seperti teman satu sekolah, rekan kerja, atau malah keluarga. Tapi selama tiga hari lalu, Jumat hingga Minggu, 25-27 Oktober 2024, saya merasakan sensasi yang luar biasa. Saat itu, saya mewakili Pondok Pesantren Aksara Pinggir Bekasi, Jawa Barat, dalam event Youth Interfaith Camp (YIC) angkatan ke-13.
Kegiatan sosial ini digagas Sinode Gereja Kristen Pasundan (GKP) yang berkolaborasi dengan Jakatarub (Jaringan Kerja Antar Umat Beragama).
Kegiatan ini diikuti 50 pemuda yang berkemah selama tiga hari dua malam. Perkemahan digelar di Lapangan GKP Jati Ranggon, Kota Bekasi.
Sesuai namanya, pesertanya berangkat dari beragam lintas iman, selain enam agama yang sudah diakui, ada pula dari Jemaat Ahmadiyah, Persatuan Umat Islam (PUI), Jemaat Baha’i, dan penganut penghayat kepercayaan.
Tentu pengalaman ini menjadi hal baru bagi saya. Nemang, secara fikrah (ideologi) dan amaliyah (perbuatan) saya sudah selesai alias tidak mempermasalahkan perbedaan, entah agama, suku, ras, pendapat (sekaligus pendapatannya). Saya sudah berdamai dengan itu.
Namun, untuk harokah (mobility), saya masih minim kontribusi. Maka di tiga hari ini sensasinya beda. Di hari pertama, aktivitas kami langsung inklusif, main outbound bersama, tak salah kami cepat akrab. Peletakan tendanya pun dibuat random, satu tenda beragam latarbelakang. Kebetulan saya setenda dengan Mas Sugandi, penganut Penghayat Kepercayaan.
Malamnya, kami mendapatkan materi tentang kemanusiaan, kekerasan seksual, kesetaraan gender, dan hubungan inklusif. Saat sesi kafe religi, saya mendapat pengetahuan dari Kak Klara, penganut Baha’i. Agama yang biasanya hanya saya baca itu, ternyata bertemu langsung dengan penganutnya, tentu banyak pertanyaan terlontar.
Di malam pertama ini, sebagai santri nahdliyin (sebutan untuk jemaah NU), saya benar-benar memosisikan diri sebagai ‘minoritas’, teman-teman non-muslim mendominasi, muslim pun yang menyandang status santri bisa dihitung jari. Tapi itu semua tak mengurangi kerukunan kami. Nyaris tak terlihat sekat di antara kami. Semuanya akrab, saling lempar tawa dan mengumpan bahagia.
Selain membangun relasi, sekaligus sarana dakwah realistis. Tentu akan meninggalkan bermacam kenangan sesuai dengan pengalaman jiwa masing-masing. Super sekali!!!