Kerja keras tanpa jeda bukanlah kebajikan, melainkan kutukan zaman kapitalisme.
Paul Lafargue pernah menulis: “Hak untuk malas adalah hak untuk menjadi manusia seutuhnya.”

Ia bukan sedang menyeru untuk malas, tapi untuk kembali waras — sebab manusia yang terus bekerja tanpa berhenti, tanpa berdoa, tanpa berzikir, pada hakikatnya telah menjadi mesin dengan tubuh biologis.
Peradaban modern memuja kerja tanpa henti. Setiap detik dihitung, setiap jam harus produktif. Manusia berlomba mengejar waktu, padahal waktu diciptakan bukan untuk dikejar, tapi untuk diisi dengan makna. Dalam tekanan ekonomi dan ambisi, banyak orang lupa bahwa Tuhan tidak menciptakan manusia untuk bekerja siang dan malam tanpa ruh ibadah.
Al-Qur’an mengingatkan:
> “وَجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًا، وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاسًا، وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا”
Artinya: “Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat, malam sebagai pakaian, dan siang untuk mencari penghidupan.” (QS. An-Naba’: 9–11)
Ayat ini menegaskan ritme ilahi: kerja dan istirahat adalah pasangan yang tak boleh dipisahkan. Siang untuk bergerak, malam untuk kembali ke diri dan kepada Allah. Tapi kapitalisme modern menghapus batas itu — membuat malam tetap terang, siang tetap sibuk, dan jiwa kehilangan kesempatan untuk diam.
Dalam Injil, Yesus juga berkata: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” (Matius 11:28)
Kalimat itu bukan sekadar undangan spiritual, melainkan kritik sosial. Ia berbicara kepada manusia yang telah kehilangan “sabat”, hari istirahat suci yang dulu dijaga oleh para nabi.
Dalam Taurat, sabat adalah hukum Tuhan yang eksplisit: “Enam hari lamanya, engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat bagi Tuhan, Allahmu; maka jangan melakukan pekerjaan apapun.” (Keluaran 20:9–10)
Jadi bahkan dalam wahyu-wahyu kuno, Tuhan sudah menetapkan bahwa kerja tanpa henti adalah bentuk kekufuran terhadap waktu. Istirahat adalah ibadah. Diam adalah bentuk zikir.
Lalu datanglah Islam dengan penataan yang lebih halus dan lebih manusiawi. Islam tidak menunggu hari ketujuh untuk beristirahat. Ia memberi waktu jeda setiap hari: lima kali sehari. Shalat bukan hanya ritual, tapi sistem ritmis yang menjaga keseimbangan antara dunia dan ruh.
