Menjadi “orang tak biasa” sejak masa kanak-kanak, Kiai Alimuddin (Kiai Thayyib) dikenal sebagai sufis kharismatis dari Sumenep, Madura. Kemampuannya dalam memadukan ilmu dan amal mengantarnya pada derajat mukasyafah.
Kiai Alimuddin, atau yang juga biasa disapa Kiai Thayyib, merupakan anak kiai kampung yang lahir di Desa Daramista, Kecamatan Lenteng, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur. Tapi, sejak kecil Kiai Alimuddin memang terlihat sebagai “anak yang tak biasa”. Jika anak-anak sebayanya biasa bermain, Kiai Alimuddin justru senang senang berzikir, membaca Al-Quran, dan ke mana pun pergi selalu membawa tasbih.
Dibandingkan dengan anak-enak sebayanya, ia juga memiliki kepekaan lebih, kepekaan batin, terhadap lingkungan sekitar. Konon, suatu hari, sang ayah, Kiai Syamiuddin, kehilangan tasbih. Seharian dicari ke mana-mana, sang tasbih tak kunjung ditemukan. Maka dipanggillah seluruh anak-ananya dan ditanyainya satu per satu. Tak ada yang bisa menjawab perihal keberadaan tasbih yang dicari-cari itu kecuali Kiai Alimuddin. Ia menunjuk kamar ayahnya, dan memang di sanalah tasbih itu tertelip.
Kebiasaan Kiai Alimuddin kecil yang selalu berzikir, membaca Al-Quran, dan ke mana pun pergi membawa tasbih itu tak pernah ditinggalkan ketika sudah mondok. Sejak kecil, Kiai Alimuddin memang memperoleh pendidikan dan bimbingan agama dari ayahnya. Namun, ketika usianya 17 tahun, Kiai Alimuddin dikirimkan ke Pesantren Darul Hadis Malang, Jawa Timur, untuk memperdalam ilmu agama. Pilihan pondok pesantren ini didasarkan pada hasil istikharah sang ayah.
Di Pondok Pesantren Darul Hadis Malang, Kiai Alimuddin tumbuh berkembang dengan keilmuannya yang mumpuni. Menurut penuturan Kiai Sattar, selama di pondok, Kiai Alimuddin terkenal sebagai orang yang sangat luar biasa di mata teman-temanya. Itu tak lain karena ketekunannya dalam belajar dan berzikir. Ia jarang tidur malam. Hampir seluruh waktunya digunakan untuk berzikir.
Di lingkungan pesantrennya, Kiai Alimuddin dipandang sebagai orang mampu memadukan antara ilmu dan amal. Bukan hanya sebatas itu, ia juga dinilai mampu mengendalikan hawa nafsunya. Karena itu, selama berada di pondok, Kiai Alimuddin tidak pernah melanggar peraturan pesantren atau bertengkar dengan sesama santri.
ممنب