Penulis saat sowan ke KH M. Baidowi Muslich di Pondok Gading

Kiai Baidowi Gading dan Doa dari Langit

Dari sebuah rumah sederhana di daerah Gading, sebuah doa telah dilantunkan oleh seorang kiai yang kemudian menjadi cahaya bagi ribuan santri. Namanya KH M Baidowi Muslich, pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Huda Gading Malang, Jawa Timur. Sosok alim ini mengajarkan keteduhan lewat diam dan makna syukur lewat ‘doa dari langit’.

Saya pertama kali mendengar doa itu saat sowan ke beliau di bulan Syawal. Itu bukan sekadar bacaan biasa, melainkan seperti embun yang menetes di hati saya yang haus harapan. Saya datang ke ndalem beliau layaknya santri atau alumni yang sowan syawalan, minta maaf, dan mohon doa – namun kali ini beliau memberikan lebih dari sekadar doa. Beliau memberikan warisan: sebuah ijazah doa yang membuat saya melihat kehidupan dengan cara baru, lebih baik.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Ijazah dari Langit

Suasananya masih jelas di benak saya: halaman ndalem yang sederhana namun rapi, aroma khas rumah terawat, dan beliau duduk tenang— wibawa yang tak dibuat-buat. Saya menunduk, mencium tangan beliau, lalu duduk iftirāsy — merunduk, diam, dan bersiap mendengar. Beliau tersenyum, kemudian menyampaikan sebuah doa yang terinspirasi dari kisah sahabat Nabi, Abu Bakar al‑Siddiq.

Kisahnya: ketika beliau mencapai usia empat puluh, sahabat itu memohon kepada Allah agar diberi kemampuan untuk bersyukur atas nikmat, memperbaiki diri, serta mendoakan keturunan. Doa ini tertuang dalam Al‑Ahqâf ayat 15:

حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُۥ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةًۭ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ ٱلَّتِيٓ أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَٰلِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَٰلِحًا تَرْضَىٰهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِيٓ ۖ إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ ٱلْمُسْلِمِينَ

Artinya: Sehingga apabila dia telah dewasa dan mencapai usia empat puluh tahun, dia berdua: “Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk untuk dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau rida. Berilah kebaikan kepadaku melalui anak cucuku. Sungguh, aku bertobat kepada-Mu, dan sungguh, aku termasuk orang Muslim.”

Doa ini meliputi empat aspek utama: syukur atas nikmat pribadi dan orang tua; beramal saleh yang diridai; mendoakan keturunan; dan taubat serta pengakuan keislaman.

Beliau tidak hanya mengijazahkan bacaan—beliau menafsirkan secara sederhana namun mendalam. Doa ini ditujukan bagi mereka yang ingin hidup seimbang: bersyukur kepada Allah, hormat kepada orang tua, peduli pada anak-anak, dan istikamah dalam amal. Sejak saat itu, saya berupaya agar doa ini selalu hadir setiap hari terutama pada momentum penting.

Gading yang Menjalin Damai

Sepulang dari sowan di Gading, hati saya seperti baterai HP yang di-charge penuh. Damai, penuh hikmah — saya merasa mendapat bekal untuk seluruh hidup. Doa itu terus saya ulang di pagi atau malam hari, ketika hati saya gundah ataupun senang. Ajaibnya, doa itu bekerja tanpa sorotan dramatis; ia meresap perlahan, seperti air yang meresap ke tanah — menumbuhkan sabar, syukur, dan kepasrahan.

Kini setelah beliau berpulang, doa itu terasa makin sakral. Setiap kali saya melafazkannya, seakan saya menyambung batin dengan beliau, sang guru yang tak banyak bicara tapi ajarannya membekas seumur hidup. Bagi saya, ijazah itu bukan sekadar bacaan, melainkan cahaya — dan saya yakin cahaya itu datang dari langit, melalui lisan seorang guru yang sangat bijak dan tawadhu.

Jejak yang Menjadi Pelita

KH Baidowi bukan hanya seorang kiai, namun pejuang dan guru kehidupan. Lahir di Desa Parijatah Kulon, Srono, Banyuwangi, pada 17 Juli 1944, beliau adalah anak kelima dari tujuh bersaudara. Sejak muda, beliau menempuh pendidikan agama secara intensif, dan ketekunan serta kedalaman ilmunya menjadikannya sosok yang dihormati banyak kalangan.

Dedikasi beliau tercermin dalam kiprahnya sebagai pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Huda Gading sejak era 1970-an dan pendiri Pondok Pesantren Anwarul Huda di Karang Besuki pada 1997. Pesantren-pesantren ini telah melahirkan ribuan santri yang tersebar di berbagai daerah.

Beliau juga aktif dalam berbagai organisasi keumatan—sebagai Mudir Jam’iyah Thoriqah Mu’tabarah Idarah An Nahdliyah Syu’ubiyah Kota Malang, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Malang selama beberapa periode, serta Ketua Takmir Masjid Agung Jami’ Kota Malang.

Salah satu hal paling membekas adalah keteladanan kesehariannya: beliau dikenal istikamah dalam ibadah dan zikir, serta akhlak dan ilmunya diakui tidak hanya oleh yang sepemikiran, namun juga lintas organisasi berbeda. Keteladanan inilah yang menginspirasi banyak santri untuk menjaga kedekatan dengan Allah dalam setiap aktivitas—menggabungkan ilmu dan akhlak.

Selain itu, beliau dikenal produktif menulis. Karya-karyanya seperti Butir-butir Mutiara, Ahlussunah Wal Jama’ah, Tertib Ibadah Haji & Umroh, dan Ad-Dzikra banyak menjadi rujukan dalam memahami Islam moderat dan rahmatan lil ‘alamin. Kepeduliannya juga tampak dalam pembinaan muallaf melalui buku Mengapa Saya Memilih Islam? sebagai panduan dakwah dan pemberdayaan umat.

Meski kepergiannya meninggalkan duka mendalam bagi umat Islam di Kota Malang, warisan ilmu, akhlak, dan keteladanan beliau tetap hidup dalam hati para santri dan masyarakat. Dari tangan dingin beliau lahir ribuan alumni Gading yang kini berkiprah sebagai pendidik, dosen, muballigh dan abdi masyarakat di berbagai wilayah.

Cahaya yang Tak Pernah Padam

Kini, setiap kali saya melafalkan doa itu, hati saya seperti disapa kembali oleh kehadiran beliau. Sosok yang tak hanya mengajarkan ilmu, namun menanamkan akhlak. Sosok yang tak tergoda gemerlap dunia, namun justru bersinar lewat kesederhanaannya. Sosok yang diamnya menenangkan, nasihatnya meneguhkan, dan kepergiannya meninggalkan jejak tak tergantikan.

Kiai Baidowi adalah guru dalam arti sesungguhnya. Ia tidak membentuk pengikut, namun membesarkan penerus. Ia tidak memaksakan kehendak, namun mengarahkan dengan kelembutan. Ia tidak menuntut untuk dikenang—keikhlasannya justru menjadikannya abadi dalam ingatan. Bagi saya dan banyak santri lainnya, beliau adalah telaga keteladanan yang tak pernah kering—tempat kami terus menimba semangat, nilai, dan rasa pulang.

Keteladanan beliau tidak hanya layak dikenang—melainkan diwariskan dalam sikap hidup: dalam cara kita bersikap kepada orang tua, dalam cara kita mendidik anak-anak, dalam cara kita mengabdi di tengah masyarakat. Karena sesungguhnya, santri sejati adalah mereka yang menyambung mata rantai kebaikan—dari guru ke rumah, ke lingkungan, dan ke zaman yang akan datang.

Terima kasih atas doa dari langit itu, Mbah Yai. Doa yang terus menjadi pelita di langkah kami yang rapuh, dan semoga menjadi sebab keselamatan kami di dunia dan akhirat. Doa yang akan kami jaga, wariskan, dan hidupkan—seperti engkau pernah menghidupkan hati kami dengan kearifan yang tak lekang oleh zaman.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan