Saat lelaki itu mengoleh dedak dengan air di sebuah ember di pekarangan belakang rumahnya, serta-merta ayam-ayam yang baru keluar dari kandang menyerbunya. Cukup kewalahan, buru-buru ia membaginya ke wadah-wadah yang terkapar di tanah—agar mereka tak berebutan. Namun, persis dugaan sampean, mereka tetap berebut (wajar, namanya juga ayam!). Tak lama kemudian, keinginan untuk bertanya pada ayam-ayam itu kembali melintasi benaknya.
Boleh-boleh saja sampean heran. Namun jika memang demikian, sebetulnya ada yang lebih mengherankan: kemarin sore, saat ia menyirami pohon-pohon kacang panjang yang mulai trubus di pekarangan samping rumahnya itu, ujuk-ujuk, secara serempak mereka bertanya, “Wahai orang, kenapa sampean begitu baik—mau-maunya menyirami kami?”
Mula-mula hampir-hampir copot jantungnya. Namun seusai berpikir bahwa mereka pun makhluk—sebagaimana dirinya diberi kemampuan bicara oleh Gusti Allah Ta’ala—, ia dapat menenangkan diri lalu menjawab, “Agar sampean sekalian tumbuh subur, sehat walafiat…”
“Kenapa sampean ingin kami tumbuh besar sehat wal, wal apa tadi…?”
“Walafiat,”
“Ya, walafiat?”
Karena sudah tidak canggung ngobrol dengan tanaman, ia menjawab sembari terus menyirami, “Karena setelah sampean sekalian tumbuh besar akan membuahkan kacang panjang yang sehat-sehat untuk saya makan atau saya jual…”
“Seandainya kami tidak menghasilkan kacang panjang, apakah sampean tetap mau merawat kami?”
Cukup tersentak ia dengan pertanyaan ini. Sembari terus menyirami mereka, ia memikirkan jawabannya. Ia cukup beruntung, karena mereka sepertinya telah lupa pada pertanyaan tadi. Mereka tampak bersorak-sorak kegirangan selayak bocah-bocah kecil bermain hujan-hujanan.
Kejadian inilah yang melatarinya ingin bertanya pada ayam-ayam itu. Karena, semalam ia berpikir lama bahwa hubungannya dengan mereka sama dengan hubungannya dengan tanaman kacang panjang. Bagaimana jika mereka sebetulnya pun bisa ngomong dan beranggapan seperti kacang panjang terhadapnya? Maka sebelum ditanya oleh mereka, ia kepikiran untuk bertanya lebih dahulu.
Namun, belum sempat ia bertanya, seekor jago blirik yang beberapa saat tadi tampak berjalan ke arahnya dan kini berdiri dengan begitu jumawa di hadapannya, setelah berkokok dua kali, ujuk-ujuk ngomong, “Sudahlah, tak usah galau, saya—mewakili semua ayam itu—tahu apa yang sedang sampean pikirkan…”