“Genjer bukanlah jendral” itu sudah pasti. Begitu pula lagu Genjer-genjer yang terlarang. Pasti bukan jendral-jendral. Lagu ciptaan Muhammad Arif dari Banyuwangi itu benar-benar berbunyi dan berkisah tentang genjer.
Genjer-genjer ring kedokan pating keleler
Emak-e tole teka-teka mbobot genjer
Loih sak tenor mungkur sedot ting tolah-toleh
Genjer-genjer saiki wis digawa mulih
…
Bukan jendral seperti yang diplesetkan secara politis oleh politisi dan pejabat tinggi Orde Baru kelahiran Banyuwangi dan besar di Jember menjadi begini:
Jendral-jendral ring ibu kota pating keleler
Emake gerwani teko-teko nyuliki jendral
Olih olih sak truk mungkur sedot sing tolah-toleh
Jendral-jendral saiki wis podo dipateni
Arif sendiri menciptakan lagu itu, seperti dituturkan teman-teman dekatnya Fatra Abal dan Andang, saat Banyuwangi dilanda paceklik selama tiga tahun pada 1942. Genjer, sejenis tumbuhan mirip enceng-gondok, yang tumbuh subur di daerah itu sama sekali tak disentuh oleh orang Banyuwabgi yang memang enggan memakannya, meski dalam lilitan lapar sekalipun.
“Saya masih ingat mas Arif mengatakan bahwa lagu itu dimaksudkan untuk mendorong masyarakat Banyuwangi yang sudah kelaparan agar memakannya,” kisah Fatra Abal suatu hari pada 1993. Arif sendiri telah beberapa kali merasakan nikmatnya genjer yang disajikan istrinya yang bukan orang asli Banyuwangi.