Pada tahun 2022, pernah viral di media sosial tentang sekelompok guru yang menyita lalu menghancurkan puluhan ponsel siswa di salah satu sekolah. Video tersebut menunjukkan seorang guru yang membawa alat pemotong besi dengan puluhan ponsel yang sudah dihancurkan.
Tentu saja video ini mengundang pro dan kontra. Ratusan komentar pun segera mencuat ke permukaan. Di posisi pro, mengembuskan komentar mendukung aksi guru tersebut dengan alasan ponsel amat mengganggu pembelajaran siswa. Di sisi yang bersebrangan, aksi tersebut dinilai amat keterlaluan. Sebab, keberadaan ponsel bagi siswa juga memudahkan mereka untuk belajar dan mengakses informasi baru.
Kita sejenak menuju ke lingkungan pondok pesantren. Lembaga pendidikan berbasis keagamaan ini terkenal dengan kultur tata tertib yang ketat.Sebut saja larangan menggunakan ponsel di pesantren.
Hingga saat ini, masih banyak pesantren yang memberlakukan larangan demikian dengan beragam tujuan. Pertama, pemakaian ponsel akan menganggu jam belajar santri. Kedua, santri dikhawatirkan mengakses konten yang membawa mudharat. Ketiga, santri akan terpengaruh oleh budaya toxic yang beredar luas di dunia maya.
Adapun, ponsel jika merujuk konteks saat ini, eksitensi alat tersebut amat dibutuhkan. Ponsel bukan lagi berposisi sebagai kebutuhan sekunder, melainkan kebutuhan primer. Bukan omong kosong, buktinya orang saat ini lebih takut ketinggalan ponsel daripada ketinggalan dompet saat keluar rumah. Hal tersebut setidaknya mengindikasikan bahwa keberadaan ponsel bagi kehidupan manusia dewasa ini menepati posisi intens.
Masalahnya, pondok pesantren masih berkutat pada larangan-larangan pemakaian ponsel. Padahal, era saat ini sudah menuntut akan percepatan informasi. Di saat para santri tak memegang ponsel misalnya, dampak yang diperoleh paling tidak seorang santri menjadi gaptek (gagap teknologi). Mereka tak begitu mengikuti perkembangan zaman. Dengan begitu nalar kognitifnya dalam merespon sebuah perubahan akan minim dan terkesan tertinggal.
Memang dalam beberapa catatan pelarangan ponsel di pesantren amat perlu. Namun, sebaiknya tidak hanya ditinjau dalam satu aspek di mana ada anggapan mutlak bahwa ponsel akan mengganggu pembelajaran santri. Harus ada pergeseran paradigma atau sudut pandang lain bahwa kehadiran ponsel bukan lagi menganggu santri belajar, namun demi kebutuhan adaptasi dengan perkembangan zaman yang makin pesat.
Sayangnya, kebanyakan pesantren masih kukuh dengan tata tertib bahwa ponsel harus benar-benar dijauhkan dari santri. Padahal, dari ponsel, semestinya para santri bisa diberdayakan untuk kreatif. Misalnya mengisi media santri, membuat desain, mencari referensi agar belajar tak terkesan membosankan. Namun hal seperti itu harus ada harga yang harus dibayar, paling tidak pihak pesantren melakukan bimbingan serius kepada santri agar menggunakan ponsel secara optimal. Bukan memberi sudut pandang sempit bahwa ponsel akan menganggu mereka sepenuhnya.
Seiring berkembangnya zaman, teknologi harus menjadi bagian dari hidup manusia. Mereka bukan lagi lawan, melainkan kawan. Itulah PR besar pesantren untuk menggarap ladang baru yakni bagaimana membuat sinergi antar pemikiran santri dan kecanggihan teknologi.
Dengan begitu cerminan agama Islam sebagai ajaran yang fleksibel yang mampu beradaptasi dengan zaman akan nampak. Jika pelarangan semacam ini diglorifikasi, dengan cukup kasar penulis perlu menyebutkan bahwa hal demikian terlalu ironi. Ironi di sini bermaksud memberi gambaran bahwa tata tertib yang melarang penggunaan ponsel di lingkungan pesantren perlu dikaji ulang, bila perlu diadakan semacam alternatif: boleh menggunakan ponsel namun dengan catatan-catatan tertentu.
Jika sudut pandang santri tetap diarahkan pada pelarangan-pelarangan penggunaan ponsel. Mereka lambat laun akan jauh tertinggal. Penulis tak hendak menyalahkan bahwa pelarangan penggunaan ponsel sepenuhnya salah, juga bukan sepenuhnya benar. Namun, garis merahnya adalah perlu adanya pemikiran lebih lanjut terkait tata tertib perihal pelarangan tersebut.
Bahkan, di beberapa pesantren yang sudah menerapkan kurikulum modern. Ponsel bukan lagi menjadi ancaman, hal itu bisa menjadi sarana yang efektif untuk santri belajar. Banyak santri yang sudah mulai memanfaatkan internet sebagai ladang meraup rupiah, banyak pula santri yang kreatif untuk menyebarkan syiar-syiar kepesantrenan.
Kemajuan teknologi sebenarnya bersifat netral, ia bisa menjelma berbahaya jika tak digunakan secara bijak. Bisa pula menjelma menjadi peluang baik jika pengguna memanfaatkan dengan bijak. Sekali lagi, PR besar pesantren adalah bukan lagi menganggap ponsel sebagai lawan santri, namun bagaimana agar ponsel menjadi kawan yang baik.
sumber foto: antara.