Dok. Pribadi

Larung Layang

121 views

Petiklah kata-kata dari langit, pinjamlah rembulan dan bintang gemintang. Ajak mereka berbincang. Kepada daratan, tuliskanlah bait-bait kerinduan agar rindumu tak berceceran. Lalu kepada laut, harus engkau titipkan surat surat kerinduan. Agar ia sampaikan kepada senja yang ia peram sebelum purnama tiba.” —Kinanti

Aku mengeluarkan botol kaca dari dalam tas. Botol bekas minuman bersoda yang kubeli sebelum sampai di pantai siang ini. Meskipun terkesan melankolis, aku tetap ingin melakukannya. Aku pernah membacanya di buku-buku, juga melihatnya di salah satu adegan film, di mana sang pemeran utama menuliskan surat kemudian memasukkannya ke dalam botol dan melemparkannya ke lautan lepas.

Advertisements

Katanya, hal itu bisa membuat perasaan seseorang lega, bahkan sangat lega. Sebab, menyampaikan kerinduan kepada lautan lepas yang luas nan dalam lebih bebas karena ia bisa menjaga rahasia sebesar apa pun, dan tanpa membocorkannya pada siapa pun. Lautan bak seorang ibu, luas nan dalam, serta menerima seluruh kebaikan dan keburukan.

Ini kali kedua aku melakukannya. Sebelumnya, aku bersama laki-laki yang setengah mati mencintai perempuan yang juga amat kucintai. Kami mencintai perempuan yang sama. Hari itu kami duduk berdua di bibir pantai tanpa sepatah kata pun, dan aku tidak masalah dengan itu.

Meski bepergian bersama dengannya sejak pagi, entah kenapa rasanya diam menjadi pilihan yang tepat. Tidak ada yang ia sampaikan, pun tidak ada yang harus kutanyakan. Laki-laki itu duduk bersila menegakkan punggungnya menatap lautan, dan aku memeluk kedua lututku sembari menopangkan dagu di atasnya. Melihat pandangannya yang tak sedikit pun menoleh kepadaku, aku mulai ragu kalau pikirannya sedang di sini bersamaku.

Kupikir lebih baik mengeluarkan kertas dan pena yang kubawa ke mana pun aku pergi. Hari itu aku menulis pengaduan rindu untuk pertama kalinya setelah empat tahun berlalu…

Bu, apa kabar? Semoga kau di sana sedang bersenang-senang. Ada yang amat sangat rindu denganmu, tapi kata katanya tercekat di tenggorokan. Sejak kepergianmu, kami semua seperti bersama-sama menyangga langit yang hendak runtuh. Rasa sedih, hampir setiap hari bertamu. Katanya, kehadiran ragamu sungguh sangat berarti baginya.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan