Pagi masih berselimut kabut. Rinai gerimis, sisa hujan semalam, masih menetes-netes di kaca jendela yang terbawa embusan angin. Udara dingin menusuk-nusuk tulang. Tapi lelaki itu lekas mengibaskan selimutnya, bergegas ke kamar mandi untuk membasuh muka, lalu berdiri menghadap jendela. Dari jendela kamar hotel, Jam Gadang masih tampak berdiri dengan anggun, seakan tiada lelah untuk terus mengabarkan eloknya Kota Bukittinggi. Jauh di belakangnya tanah bergelombang, menjadi lembah menjadi bebukitan, dengan petak-petak rumah yang terlihat berimpitan dan bertindihan di bawah rerimbunan pepohonan. Dari jendela kamar hotel ini, daun-daun yang rindang itu masih tampak kelabu oleh saputan kabut.
Lelaki itu kedua tangannya berpegangan pada kisi-kisi jendela, pandangannya lurus jauh ke depan, pada Jam Gadang, pada tanah yang menjadi lembah, pada tanah yang menjadi bebukitan. Tapi pada titik terjauhnya yang tertangkap hanyalah warna kelabu. Dan matanya masih terus mencari-cari. Dan masih saja warna kelabu yang tampak menyelimuti bumi. Ia berharap angin segera berembus lebih kencang atau matahari lekas bergerak naik agar kabut-kabut itu berarak ke lain tempat. Dan dari sana siapa tahu akan muncul siluet-siluet wajah yang bisa dikenalinya.
***
Ini hari kedua lelaki itu berada di Kota Bukittinggi. Tapi sama sekali ia belum keluar dari kamar hotelnya. Padahal, ia cuma diberi waktu tiga hari untuk melakukan reportase guna melengkapi naskah perjalanan wisatanya yang akan dimuat di sebuah majalah pariwisata yang telah memesan tulisannya. Sebagai penulis lepas perjalanan wisata, ia telah mengunjungi banyak tempat dan menuliskannya dengan cara yang unik. Berbentuk narasi tematik. Sebab itulah sejumlah majalah pariwisata sering meminta tulisannya. Tulisan terakhirnya sudah hampir rampung. Hanya perlu sedikit tambahan data telusuran jejak sejarah Kota Bukittinggi.
Tapi lelaki itu tak segera mendatangi tempat-tempat yang menjadi tujuannya. Memang, ketika kali pertama tiba, senja yang menyambutnya. Setelah memesan kamar hotel, ia hanya bisa berkeliling di seputaran Jam Gadang, berjalan kaki keluar masuk los-los pasar rakyat, menikmati keriuhan kehidupan malam di kota yang bersejarah ini. Ketika kawasan seputaran Jam Gadang mulai sepi, ia segera kembali ke hotel, dan tidur. Tapi ketika pagi datang bukan waktu yang terasa melemparkannya dari ranjang, melainkan mimpinya semalam. Mimpi dengan guratan yang begitu kuatnya, sehingga ketika sudah terjaga dari tidurnya pun ia merasa masih bisa merabainya sebagai sesuatu yang nyata.