Lesbumi dan Revitalisasi Seni Budaya Pesantren*

Ada fenomena defisit seni budaya di kalangan umat Islam, khususnya di lingkungan pesantren. Fenomena ini tampak pada hilangnya berbagai bentuk dan jenis kesenian yang pada masa sebelumnya menjadi sarana efektif untuk mengajarkan dan mengenalkan Islam kepada masyarakat melalui kegiatan dakwah Islamiyah. Jika tidak hilang, paling tidak seni budaya tersebut menjauh dari kalangan pesantren. Beberapa contoh yang dapat disebut misalnya seni mocopat, syi’iran, kentrung, emprak (Yogyakarta), dan yang paling monumental adalah seni wayang.

Dalang Haryo Enthus dan Al-Zastrouw.

Paling tidak ada tiga sebab utama yang menyebabkan terjadinya defisit seni budaya Islam pesantren ini. Pertama, adanya arus industrialisasi seni budaya, yakni suatu gerakan menjadikan seni sebagai barang industri yang diperjualbelikan demi keuntungan material. Seni budaya yang dianggap tidak memiliki nilai jual akan digerus, bahkan dilindas. Sebaliknya, seni budaya yang memenuhi kriteria industri dan mengandung nilai komersial tinggi diberi ruang publik luas, akses sosial, dan dukungan publikasi besar.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Kedua, munculnya gerakan puritanisme dan formalisme agama yang antitradisi dan seni budaya. Gerakan ini berusaha “memurnikan” ajaran Islam dengan menghapus berbagai bentuk tradisi dan kesenian karena dianggap mengotori kemurnian agama. Mereka berupaya mengembalikan kehidupan Islam seperti pada masa Nabi, sehingga menjadikan konstruksi sosial era Nabi sebagai rujukan dalam mengamalkan ajaran Islam.

Sikap antitradisi dan seni budaya ini tercermin dalam gerakan anti-bidah, pemberantasan khurafat dan takhayul yang melindas berbagai macam ritual tradisi dan seni budaya, termasuk yang bernuansa religi, yang sebenarnya hanya merupakan sarana untuk mengajarkan dan mensosialisasikan ajaran Islam.

Ketiga, kuatnya dominasi pemahaman fikih di kalangan ulama pesantren yang menyebabkan berkurangnya kepedulian terhadap seni budaya bernuansa tradisi, meski berakar religius. Akibatnya, seni budaya religi yang dahulu dibangun para wali dan ulama pesantren menjauh dari dunia pesantren dan kemudian dirawat oleh orang-orang nonpesantren.

Sementara, gerakan spiritual tasawuf yang dulu menjadi basis gerakan dan sumber kreativitas seni budaya Islam mengalami formalisasi dan pelembagaan sehingga hanya menekankan aspek ritual dan menjauh dari aspek kultural. Akibatnya, kegiatan menjadi rutinitas yang kering dari sentuhan seni budaya.

Kondisi ini tidak hanya menyebabkan defisit seni budaya Islami di kalangan pesantren, tetapi juga menjadikan agama terasa kering dan beku. Meskipun kini muncul berbagai bentuk seni budaya Islam, seperti nasyid, selawat, marawis, dan hadrah, kesenian tersebut sering kali lebih menonjolkan simbolisme keagamaan formal dan cenderung Arab minded, sehingga seni tradisional lokal dianggap tidak islami.

Atas kenyataan ini, diperlukan pemikiran serius mengenai strategi kebudayaan umat Islam yang menjadikan seni budaya sebagai sarana membangun kesadaran religius, agar ajaran Islam yang universal dan manusiawi dapat diaktualisasikan. Karena itu, perlu ada gerakan revitalisasi seni budaya pesantren, sebab pesantrenlah yang mampu merajut nilai-nilai dan ajaran Islam dengan tradisi lokal Nusantara sehingga tercipta format kebudayaan yang menjadi sarana efektif dalam menanamkan ajaran Islam kepada masyarakat.

Pesantren sebagai Akar dan Sumber Seni Islami

Secara historis-antropologis, pesantren merupakan akar dan sumber seni Islami Nusantara karena berbagai macam bentuk seni budaya lahir dan berkembang dari lingkungan pesantren. Hal ini tidak lepas dari perjuangan para wali songo yang berhasil membangun strategi kebudayaan yang mengaitkan ajaran Islam dengan kearifan tradisi lokal.

Sejarah menunjukkan bahwa pada era Walisongo, seni budaya berkembang pesat, mulai dari seni pertunjukan (wayang), musik (gamelan), suara (mocopat), sastra (serat, babad, kitab, hikayat, dan syair). Semua ini dilakukan oleh Walisongo di pesantren, sehingga pesantren menjadi pusat kreativitas dalam membangun rekonstruksi budaya sekaligus tempat mensosialisasikan seni budaya sebagai produk kreativitas para wali.

Seni wayang, mocopat, dan karya sastra keislaman menjadi sarana dakwah efektif. Wayang diislamisasi melalui deformasi bentuk dan perubahan cerita; mocopat menjadi media tembang sufistik yang mendidik jiwa; dan serat serta hikayat menjadi media tulis untuk menanamkan nilai spiritual. Pesantren menjadi rumah bagi seluruh aktivitas kreatif itu: laboratorium budaya yang menanamkan tauhid, tasawuf, dan ihsan melalui keindahan.

Pengembangan Seni Budaya Pesantren

Upaya pengembangan seni budaya pesantren terus dilanjutkan oleh para ulama dan juru dakwah Islam. Setelah era Walisongo, muncul pusat-pusat pengembangan seni budaya berbasis pesantren di berbagai wilayah Nusantara, mulai dari Aceh hingga Banjar. Karya sastra pesantren seperti Hikayat Syekh Jalaluddin, Hikayat Malem Dagang, Gurindam Dua Belas, Serat Wedhatama, hingga Serat Centhini menggambarkan integrasi antara ajaran Islam, nilai tasawuf, dan keindahan lokal.

Sastra dan seni pesantren juga menjadi wahana dakwah kultural. Ulama-ulama besar seperti Hamzah Fansuri, Syekh Nawawi al-Bantani, dan Syekh Arsyad al-Banjari menulis karya yang memadukan rasionalitas keilmuan dan kekayaan rasa estetika. Dari tradisi inilah pesantren tampil sebagai pusat penciptaan seni yang religius dan humanis.

Asrul Sani dan Lesbumi: Jembatan antara Agama, Seni, dan Pesantren

Dalam perjalanan kebudayaan Islam modern Indonesia, muncul tokoh penting bernama Asrul Sani (1926–2004)—sastrawan, dramawan, dan sineas—yang berperan mengartikulasikan hubungan antara agama dan seni melalui wadah Lesbumi NU (Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia) yang berdiri pada 1962.

Lesbumi lahir di tengah pertarungan ideologi kebudayaan antara Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berpihak pada komunisme dan Manikebu (Manifes Kebudayaan) yang berhaluan humanistik-liberal. Dalam pusaran itu, Asrul Sani tidak memilih salah satu, melainkan menawarkan jalan tengah: seni yang berjiwa religius dan bersumber pada spiritualitas Islam, namun terbuka terhadap modernitas.

Bagi Asrul Sani, Lesbumi bukan sekadar lembaga kesenian Islam, melainkan gerakan spiritual yang menjembatani agama dan kebudayaan. Ia menilai seni sebagai bentuk tafakur estetis—perenungan terhadap ciptaan Tuhan dan hakikat kemanusiaan. Seni yang sejati, menurutnya, tidak dapat dipisahkan dari nilai moral dan tanggung jawab sosial.

Dalam pandangan itu, seni pesantren menjadi contoh ideal: ia lahir dari spiritualitas, berakar pada tradisi lokal, dan berfungsi sebagai dakwah. Seni semacam ini tidak bersifat menggurui, tetapi menyentuh hati dan menghaluskan budi.

Sebagai seniman modern yang terdidik di Barat tetapi berakar di Timur, Asrul Sani mendorong lahirnya seni Islam modern yang berjiwa pesantren—yakni seni yang tidak berhenti pada simbolisme formal (peci, sorban, lafaz Arab), melainkan menghadirkan nilai kejujuran, kasih sayang, dan kemanusiaan.

Dalam karya film dan naskahnya, seperti Titian Serambut Dibelah Tujuh dan Naga Bonar, Asrul menampilkan religiusitas rakyat yang alami, penuh humor, dan sarat nilai moral tanpa harus meminjam simbol keagamaan secara literal. Inilah esensi seni Islami menurut Asrul Sani: seni yang memanusiakan manusia dan menumbuhkan kesadaran Ilahiah melalui keindahan.

Melalui Lesbumi, Asrul Sani bersama para kiai NU berupaya menghidupkan kembali warisan Walisongo—yakni menjadikan seni dan budaya sebagai sarana dakwah yang lembut, santun, dan humanistik.

Tiga gagasan pokok Asrul Sani yang relevan bagi dunia pesantren kini adalah: (1) Seni sebagai ekspresi tauhid, bukan sekadar hiburan; (2) Seni sebagai dakwah kultural, bukan alat politik; dan (3) Seni sebagai ruang dialog antarperadaban, agar Islam hadir sebagai kekuatan moral dan budaya yang ramah terhadap kemajuan zaman.

Dengan kesadaran itu, Lesbumi menjadi jembatan antara pesantren dan dunia modern—menghubungkan nilai spiritual Islam dengan kreativitas manusia yang terus berkembang.

Kembali ke Khitah Kebudayaan Pesantren: Strategi Revitalisasi

Mengacu pada proses sejarah di atas, jelas bahwa khitah pesantren adalah pusat pendidikan Islam dan pengembangan seni budaya. Seni budaya yang dirawat dan dikembangkan pesantren tidak hanya yang bernuansa Arab, tetapi juga berbagai kesenian tradisi lokal.

Gerakan kembali ke khitah kebudayaan pesantren dapat dilakukan melalui revitalisasi seni—membangkitkan kembali seni budaya bercorak keislaman, khususnya seni tradisi yang berakar kuat di pesantren. Seni memiliki fungsi ganda: bisa merusak, tetapi juga memperbaiki masyarakat. Oleh karena itu, seni perlu diarahkan menjadi sarana dakwah yang memuliakan manusia, sebagaimana dilakukan oleh para wali.

Strategi ini juga menuntut peningkatan sense of art di kalangan pesantren agar lahir karya-karya yang estetik sekaligus etis. Seni yang baik tidak hanya menarik, tetapi juga menanamkan nilai kemanusiaan dan keagamaan.

Dalam konteks kekinian, hal ini dapat dilihat dari karya-karya musisi seperti Maher Zain, film religius yang berkualitas, atau kreativitas seniman pesantren seperti Ki Enthus Susmono dan Al-Zastrouw dengan Wayang Sinfoni. Semua itu adalah bentuk aktualisasi seni dakwah yang berpijak pada nilai lokal dan spiritualitas Islam.

Penutup

Jika Surat Kepercayaan Gelanggang (1950) menandai lahirnya kesadaran intelektual Angkatan ’45 untuk menafsirkan kemerdekaan manusia, maka Lesbumi (1962) menandai lahirnya kesadaran spiritual kaum Muslim Indonesia untuk menafsirkan kembali kebudayaan dalam cahaya tauhid.

Asrul Sani, yang berdiri di antara dua gelanggang—modernitas dan spiritualitas pesantren—menegaskan bahwa Islam dan seni tidak perlu saling berhadapan. Seni, bagi Asrul, bukan hanya untuk keindahan, tetapi untuk memanusiakan manusia; bukan sekadar estetika, tetapi juga etika dan hikmah.

*Artikel ini merupakan bagian dari buku acara Semaan Puisi dan Haul Sastrawan 2025 yang dilaksanakan di Makara Art Center Universitas Indonesia, Selasa (18/10/2025). Berisi enam tulisan yang juga diterbitkan di laman duniasantri.co secara bersambungan. Keenam naskah dalam buku ini adalah “Asrul Sani: Jalan Wasatiah Kebudayaan Indonesia” oleh Jamal D. Rahman; “Surat Semaan Puisi: dari Gelanggang ke Adakopi” oleh Mahwi Air Tawar; “Semaan Puisi: Melarikan dari Media Sosial, Kok Malah Ngurusi Mayat Penyair?” oleh Angin Kamajaya; “Lesbumi dan Revitalisasi Seni Budaya Pesantren” oleh Ngatawi Al-Zastrouw; “Kreator Jalan Ketiga yang Terlupakan: Refleksi Identitas Intelektual Asrul Sani” oleh Andy Lesmana; dan “Yang Mengusik Takdir” oleh Mukhlisin Ashar.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan