LINDA YANG PUITIS
Sejak di tanah Sukorejo, puisi telah jadi teman hidup Linda; memasuki gerbang waktu —melihat liris telanjang bulan tanggal satu di langit yang piatu dengan kedua mata beralis rindu.
Linda adalah lindu bagi kalbu —wujud baku dari kata rindu. Linda adalah latar peta terhampar bagi langkah yang terdampar, agar bangkit segera meraih damar, mengejar camar ke jazirah belukar
Hari berikutnya, puisi jatuh sebagai biji kemilau ke dalam dirinya yang limau, berdaun rasa, berbunga cinta, menandai datangnya musim dengan hujan kata-kata;
Dan ah! Setiap dada akan basah olehnya; Linda yang dara, diam bertengger di ranting jiwa, menyanyikan asmaraloka, sepanjang tiupan angin ternggara menggenapi keganjilan daun kelapa.
—dari hujan kata-kata itu pula setiap sungai mencipta arus sendiri ke muara hati, membagi ikan-ikan putih dan seucap janji, dan para penyair jadi pemancing setia di tepinya, merangkkum mimpi-mimpinya ke utas senar yang menjerat joran; berharap sekali tarik, ada ikan rasa di kail tua sebagai ilham bagi puisi-puisinya.
Sepulang ke Bondowoso, Linda sudah jadi puisi, memberi rima bagi tiap suara —tartil yang menggemakan kidung pesantren ke cuping telinga dalam kuncup waktu yang putih susu. Sudah jadi puisi yang melukiskan tipografi cinta dalam bait lekukan yang mendekap setiap kebaikan.
Linda yang puitis, dibaca langit dan bumi, matahari dan bulan hanyut dalam baitnya., laut dan segala isinya merangkai iktidal sederhana dari ritus sembahyang kapal yang beranjak ke dermaga—menepikan sebentuk nama; LINDA.
Sumenep, 4 November 2021.
SAJAK SEDERHANA BUAT ALMARHUM LORA DHOFIR
Kamis pagi itu, namamu dalam urutan waktu, tiba di batas tak terlintas, mencipta kepergian yang sesungguhnya adalah kehidupan.
Kau sebagai daun yang jatuh jadi duka hutan, jari ranting lekat di dada pohon yang luka, mengiringimu dengan sebenar-benarnya air mata.
Kau sebagai hujan yang kembali ke bumi, untuk menghidupi jutaan akar, guna membuat kembang mekar.
Kau sebagai perahu yang kembali ke laut, menyibak rahasia pelayaran suci ke pulau paling putih.
—dan aku di sini, biarkan jadi patung yang mengenang segala tentang kau dengan fatihah yang menancap di datar dada.
Sumenep, 4 November 2021.
REPORTASE SEORANG PENYADAP LAHANG
aku lelaki Madura, menggarami hidup dengan keringat. tubuh sederhana ini bukan alasan takut bertemu matahari. di tulang yang diandar pagi ke siku sepi sejak masih bayi—telah tertulis azimat barokati dari banyak kiai.
maka perkenankan
aku jadi penyadap lahang
berkekasih pohon siwalan
menantang hidup di ketinggian
saat langit kuning labu, di pinggang terikat pundi kayu, sesak berisi laru. kala itu, kemarau merajah tanah dengan jarum angin dari timur. daunan dalam peluk cuaca kering, merentangkan kisah ranaunya ke rusuk bayang-bayang samar; seperca kisah dua burung trucuk purna disiulkan sepanjang hari ke pingang-pinggang lembah—bangkitlah dusunku dengan daging pisang dan tulang kelapa. jauhkan leluhur dari penyakit alpa. kenang, dalam badang pirang berbandang angan.
aku pun mengambil
timba daun siwalan dan salampar*
bergegas ke ladang
atas nama memberi kembang
bagi kehidupan.
nyatanya matahari
terbit sendiri dari gua hati
setelah semua diniati.
lalu pohon siwalan itu kupanjat perlahan dengan getar bibir melafal basmalah. dari takik ke takik, daki hidup dimulai. suara gesek salampar menyeberangi banjar pohon sebagai salam tembang orang pedesaan yang hendak mencari bintang di telapak tangan. setiba di puncak, gelantung sanggul mayang membisikkan hidup yang lapang. sekali kukerat ujungnya, tetes lahang itu melukis wajahku ke dasar lambung timba yang cekung sangku. aku memandangnya dengan senyum rekah bunga
bahwa mata pencaharian ini
adalah cara orang dusun bertemu matahari
memperkenalkan diri sebagai larik puisi suci
yang ingin terpatri di di jantung tanah sendiri
Sumenep, 2021.
*Alat pegangan tangan saat memanjat pohon, bentuknya bundar, lentur, dan kuat.
ilustrasi:iStock.