LUKA DI TANAH HUJAN

LUKA DI TANAH HUJAN

Di Sumatra, hujan tak lagi sekadar doa,
ia jatuh membawa luka dari bukit yang digunduli.
Akar-akar tercabut dari ingatan bumi,
sungai meluap, menagih janji yang dilanggar manusia.
Hutan yang dulu bersujud hijau,
kini rebah sebagai saksi
bahwa keserakahan lebih deras dari air bah.
Lalu mata mereka tertutup, nurani mereka tak lagi mampu mengecap pedih nya jiwa-jiwa yang tertimbun oleh luka
Manakala angka-angka dituliskan pada kayu-kayu besar,
alat tajam menebang dengan buas, saat itulah pundi-pundi rupiah menetap pada kantong pembesar.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Pak, Bu
Alam tak pernah salah dalam memilih
Alam tak pernah keliru dalam bertindak
Dan alam tak akan punah meski tak ada manusia
Alam selalu berbaik hati pada kita yang tak tahu diri

ACEH, TANAH YANG MASIH BERSABAR

Puisi ini lahir dari ingatan dan kenyataan. Aceh adalah tanah yang pernah belajar tentang kehilangan, namun tak pernah lelah mengajarkan keteguhan. Di tengah bencana yang kembali datang.

Banjir, longsor, dan rusaknya alam

Aceh tetap berdiri dengan doa dan kesabaran. Puisi ini adalah suara empati, bahwa di balik lumpur dan air bah, masih ada iman dan harapan yang dijaga.

Aceh, kau pernah diuji gelombang besar,
kini engkau diuji oleh tangan-tangan sendiri.

Gunung menangis lewat longsor sunyi,
sawah tenggelam oleh air yang kehilangan arah.

Namun kau tetap menyebut nama Tuhan,
di antara puing dan lumpur yang mengeras,
sebab harapanmu tak pernah ikut hanyut dan terkuras.

KETIKA ALAM BERBICARA

Narasi ini bukan sekadar rangkaian kata, namun peringatan.

Alam tidak pernah marah tanpa sebab. Ia berbicara lewat kesiur angin dan air yang terlalu,

lewat tanah yang runtuh, dan lewat hutan yang kehilangan nyawa.

Narasi ini mengajak kita berhenti sejenak, mendengar, dan merenung sebelum suara alam berubah menjadi penyesalan yang terlambat.

Asap, banjir, dan tanah yang runtuh
adalah bahasa alam yang lama kita abaikan.
Sumatra dan Aceh menulis pesan di langit kelabu:
Pandang dan rawatlah kami, atau bersiap kehilangan segalanya.
Sebab alam tak pernah dendam,
ia hanya mengembalikan apa yang manusia tanam, sepadan tanpa timpang.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan