LUKA PALING MERIAH
Tanganmu memegang secangkir puisi racikanku.
Kau minum perlahan tanpa takut kujejali racun asmara.
Seteguk dua teguk kemudian.
Senyum simpulmu lalu, seolah meraba ke dalam imajinasiku bahwa aku harus membuatnya lagi untukmu.
Untungnya aku begitu sukarela.
Kuambil kata-kataku dalam dirimu.
Kemudian merangkainya.
Dalam prosesnya, kau memintaku untuk menambahkan sedikit rasa manis.
Aku tertegun, bola mataku terhenyak di wajahmu.
Jari jemarimu menunjuk dadaku.
Aku memahami sesuatu.
Bahwa,
Kau adalah debar dalam dadaku
Mengusik rusuk dan jiwaku
Yang merindukan sebuah dekapan
Barang sepergelangan tangan
Aku kembali sepulang wira-wiri
lalu berpuisi pada hujan sore ini
Menyuguhkan bait-bait patah hati
Gemricik hujan di luar jendela
Mencoba merayu hati yang hampa
untuk mengisinya dengan air matamu.
Aku bertanya pada diri sendiri,
“Luka mana yang lebih meriah dari luka kita?”
LUKA DI BALIK PUNGGUNG
Dalam sisa-sisa kerinduanku pada wujud di balik sayap-sayapmu.
Kau berbalik memunggungi segala yang telah kita bangun.
Ujung jari kakimu menerjang angin.
Lututmu mengayun indah mengiringi pergelangan kakimu yang tampak menjauh.
Sebelah tubuhmu menyertai sebelah tubuh yang lain.
Dengan begitu anggun melangkah.
Meninggalkan aku yang berdiri di belakangmu dengan pasrah.
Aku bertanya pada diriku, siapa yang salah?
Setidaknya setelah engkau melangkah ke sekian kalinya.
Kau kepakkan kedua sayap di punggungmu.
Kau begitu yakin pada rasa yang kau bawa.
Kedua sayapmu begitu elok sampai-sampai keindahan bumi di depanmu terlihat malu.
Luka?! Aku terlalu tertuju pada kedua sayapmu sampai
tak menyadari luka-luka di balik punggungmu.
Aku kembali dibuat pusing.
Itukah yang membuatmu pergi.
Luka yang kau sembunyikan?
Kedua kakiku tanpa kusadari melangkah ke depan mengejarmu sebelum kau terbang menjauh.
Kedua tanganku merangkulmu.
Kau tetap diam dan tak mengelak.
Luka-lukamu kemudian menempel di dadaku.
Debar dalam dadaku menyatu dengan luka di balik punggungmu.
Sejenak aku mulai memahami.
Itu luka yang kita ciptakan bersama dan hanya kau yang terluka.
Sedangkan aku tak mengerti apa-apa.
Namun kini, kita saling berbagi luka.
Kau menyimpan luka itu di balik punggungmu.
Lalu Aku menyimpannya dalam dada.