Lukisan Monster Fahmi*

35 kali dibaca

Sebuah monster mengerikan. Kepalanya seperti tumpukan bungkusan bekas, dikerubungi ribuan lalat, menyemburkan bau busuk yang mencekik setiap napas. Tangannya menyergap dengan cengkeraman berkarat dan tajam.

Bumi seperti berguncang. Di sekeliling monster itu, pohon-pohon remuk, air sungai beringsut, bangunan-bangunan retak, air laut meluap setinggi menara. Mata monster itu menyala merah bara. Sayap-sayapnya berkilauan dengan sisik-sisik plastic. Kuku-kukunya merobek-robek, menciptakan jurang-jurang dalam yang gelap dan mengerikan.

Advertisements

Tangan kecil itu kemudian mengambil penghapus, menggosok bagian kepala monster itu berkali-kali hingga luntur. Lalu ia ganti dengan beberapa gambar kepala, mungkin puluhan, ada yang sungsang, ada yang retak, ada pula yang cembung. Kepala-kepala itu… ya, kepala manusia.

“Kenapa kepala monsternya diganti?  Jadinya kan gak keren, Mi?” tanyaku.

“Terserah akulah, Om. Kan, aku yang menggambar, suka suka aku dong,” jawab Fahmi sambil menutup buku gambarnya.

“Iya, iya,” balasku.

“Makan yuk, Om! Aku sudah lapar ini. Yuk, yuk!” ajak Fahmi sambil menarik-narik tanganku.

Aku mengiyakannya. Fahmi merengek minta digendong. Kubopong tubuh mungilnya, lalu kuletakkan di bahu. Sesekali ia digelitiki oleh beberapa santri yang berpapasan.  Fahmi tertawa girang. Kadang berusaha membalasnya dengan pukulan yang membuat tubuhku sedikit oleng.

Sampai di kantin, aku menunggu antrean panjang, sementara Fahmi memilih bermain donal bebek bersama Andre, putra Bu Inah, penjaga kantin. Aku tersenyum, sekaligus terenyuh: Fahmi, anak kecil yang masih berusia belum genap delapan tahun itu, masih terlalu dini untuk menjajah hidup di pesantren. Seharusnya ia masih merasakan kehangatan pelukan ibunya, bobok nyaman di pangkuannya, diantar ke sekolah dengan penuh cinta, atau dibelikan mobil mainan idamannya.

***

“Ayah ibunya berpisah sejak Fahmi masih bayi. Tak ada yang mau mengurusinya. Bayi itu mereka titipkan ke saya, tetangganya,” ujar Pak Darmin beberapa bulan lalu saat mengantar dan memasrahkan Fahmi ke pesantren seorang diri.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan