Dalam sejarah dinamika dan perkembangan dunia tafsir, sumber penafsiran terhadap Al-Qur’an dibagi menjadi dua model, yaitu tafsir bi al-Ma’tsur dan tafsir bi al-Ra’yi. Tafsir bi al-Ma’tsur dititikberatkan dengan berlandaskan pada riwayat-riwayat baik dari Nabi Muhammad, Sahabat, Tabi’in, maupun Tabi’it Tabi’in. Model sumber penafsiran yang kedua (bi al-Ra’yi) lebih ditekankan terhadap penggunaan akal dalam memahami Al-Qur’an. Meskipun dalam perjalanannya, tafsir bi al-Ra’yi ada yang dapat diterima dan ada pula yang ditolak.
Salah satu contoh kitab tafsir yang menggunakan sumber penafsiran bi al-Ra’yi adalah Mafatih al-Ghaib. Sebuah kitab tafsir terkenal dan monumental buah tangan Fakhruddin ar-Razi. Dikatakan monumental, sebab menurut sebagian ulama, kitab ini adalah satu-satunya kitab tafsir yang tidak hanya membahas satu cabang keilmuan, tetapi juga beberapa cabang keilmuan yang lain.
Terkenalnya kitab tafsir Mafatih al-Ghaib dari sejumlah deretan kitab-kitab tafsir yang lain tidak terlepas dari kemampuan sang penulis. Penulis sekaligus mufasir dengan nama lengkap Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin Husain bin Hasan bin Ali al-Tamimi al-Thabaristan al-Razi lahir di kota Ray, daerah Iran, pada tanggal 25 Ramadhan 544 H (al-Dhahabi). Nama Fakhruddin al-Razi merupakan laqab (julukan) untuk mengagungkan sosok mufasir pada masa itu. (Hlm. 3)
Lahirnya karya yang monumental ini dilatarbelakangi oleh faktor kondisi sosial kemasyarakatan yang ada pada masa itu. Di mana, kala itu terdapat perselisihan sengit dari beberapa belah pihak antara kelompok Mu’tazilah, Syiah, Murjiah, dan lainnya. Motif inilah yang mendorong Fakhruddin al-Razi menulis kitab Mafatih al-Ghaib sebagai alat untuk memperkuat dalil dalam menolak pemahaman akidah yang menyeleweng. Sehingga dari latar belakang itulah Fakhruddin al-Razi menganggap dibutuhkan penengah sebagai jalan keluar dari perselisihan yang terjadi.
Dinamakan Mafatih al-Ghaib oleh penulis sebab diilhami oleh adanya salah satu ayat Al-Qur’an, yakni surah Al-An’am ayat 59: “Pada sisi Allah terdapat kunci-kunci semua yang ghaib (mafatih al-ghaib) dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia (Allah) sendiri” (QS. Al-An’am 59).