Pluralisme agama pada dasarnya merupakan sebuah realitas dalam kehidupan dunia. Al-Qur’an mengakui secara tegas adanya pluralisme dalam berbagai aspek kehidupan manusia, dengan berbagai argumentasinya.
Sebenarnya, pluralisme atau “al-ta’addudiyyah”, tidak dikenal secara popular dan tidak banyak dipakai di kalangan Islam, kecuali sejak kurang lebih dua dekade terakhir abad ke-20, yaitu ketika terjadi perkembangan penting dalam kebijakan internasional Barat yang baru memasuki sebuah fase perkembangan. Dalam hal ini upaya Barat yang habis-habisan menjajakan ideologi modernnya yang dianggap universal, seperti demokrasi, pluralisme, dan pasar bebas serta mengekspornya untuk konsumsi guna berbagai kepentingan yang beragam.
Dalam hal pluralisme agama, Islam memberikan kebebasan untuk memilih dan meyakini serta beribadah menurut keyakinan masing-masing. Pemilihan sebuah keyakinan merupakan pilihan bebas yang bersifat personal. Meski demikian, manusia diminta untuk memilih dan menegakkan agama. Tapi, pluralisme juga ingin melampui capaiannya, yaitu menjadi sebuah upaya memahami yang lain melalui sebuah pemahaman yang konstruktif.
Artinya, karena perbedaan dan keragaman merupakan hal yang nyata, maka yang diperlukan adanya pemahaman yang baik dan lengkap tentang hal lain, sehingga tercapainya kehidupan yang damai. Karena makna pluralisme secara fundamental adalah, menolak berbagai macam tindakan kekerasan, karena tindakan tersebut secara nyata tidak sesuai dengan prinsip kemanusiaan universal, yaitu antara satu agama dengan lainnya harus saling menghargai dan menghormati.
Namun, menurut penulis, perlu adanya tafsir baru atas pluralisme. Hal ini dalam rangka menghindari pemahaman dan representasi yang salah. Sebab, munculnya tafsir sewenang-wenang atas pluralisme akan sangat berbahaya karena akan menimbulkan dampak-dampak negatif, terutama untuk menjaga keragaman.
Kesalahan dalam pemahaman sesungguhnya tidak hanya dilakukan oleh orientalis terhadap Islam, tetapi lebih dari itu juga bisa dilakukan oleh kalangan Muslim, terutama kurangnya pengetahuan tentang pluralisme. Di masa mendatang, tidak sepatutnya bila pluralisme dijadikan momok, apalagi diharamkan. Sebab, pluralisme menyisakan mutiara untuk hidup damai dan toleran.
Hakikat Pluralisme
Dimaknai secara bahasa, plural berarti lebih dari satu dan isme adalah sistem kepercayaan. Secara harfiah pluralisme berarti jamak, beberapa, berbagai hal, keberbagaian atau banyak. Oleh karenanya sesuatu dikatakan plural pasti terdiri dari banyak hal jenis, pelbagai sudut pandang serta latar belakang.
Pluralisme sendiri sesungguhnya adalah istilah lama yang hari-hari ini kian mendapatkan perhatian penuh dari semua orang. Dikatakan istilah lama, karena perbincangan mengenai pluralisme telah dielaborasi secara lebih jauh oleh para pemikir filsafat Yunani secara konseptual dengan aneka ragam alternatif memecahkannya.
Pluralisme dianggap oleh banyak kalangan sebagai tahapan lanjutan dari inklusivisme. Pluralisme makin memperjelas dan meyakini adanya perbedaan dalam agama-agama. Pluralisme dianggap sebagai lompatan praksis dari sekadar inklusivisme pemahaman keagamaan. Pluralisme telah menjadi realitas dari agama-agama itu sendiri. Setiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak orang lain, tetapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan, guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan. Melalui pemahaman tentang pluralisme yang benar dengan diikuti upaya mewujudkan kehidupan yang damai seperti inilah, akan tercipta toleransi antarumat beragama, termaduk di Indonesia. Toleransi yang dimaksud tentu saja bukan toleransi negatif, tetapi toleransi yang benar adalah toleransi positif.
Hakikatnya, pluralisme berusaha mengajak kita agar lebih realistis, bahwa hakikatnya agama-agama adalah berbeda. Perbedaan tersebut dilihat dari segi penghayatan terhadap agama dan yang lebih penting adalah dimensi simbolik dan sosiologisnya. Kendatipun ada kesamaan dalam ranah ritual sekalipun, karena agama ibarat sebuah rumah, tetap saja ada perbedaannya.
Kalangan yang menganut teologi inklusif menghendaki titik temu agama-agama. Tetapi bagi penganut pluralisme, harus diakui sejak awal bahwa agama-agama pada hakikatnya adalah berbeda antara satu agama dengan yang lain. Lalu, apakah perbedaan tersebut kita diabsahkan untuk saling membenci dan menebarkan konflik antara satu agama dengan agama yang lain?.
Karena itu, pluralisme mulai menunjukkan relevansi dan signifikansinya. Pluralisme hadir dalam rangka membangun toleransi di tengah perbedaan dan keragaman tersebut. Pluralisme memandang, karena perbedaanlah pada umumnya manusia lebih mungkin untuk berseteru antara satu komunitas dengan komunitas yang lain. Oleh karena itu, diperlukan pluralisme untuk menjadikan perbedaan sebagai potensi tolerasi, bahkan lebih dari itu untuk memajukan masyarakat dari keterbelakangan dan keterpurukan.
Dalam hal ini, pemberian pemahaman terhadap pluralisme yang relatif distingtif. Setidaknya ada beberapa poin penting yang terkandung dalam pluralisme. Pertama, pluralisme adalah keterlibatan aktif di tengah perbedaan dan keragaman. Pluralisme meniscayakan munculnya kesadaran dan sikap partisipatif dalam keragaman. Pluralisme sesungguhnya berbicara dalam tataran fakta dan realitas, bukan berbicara tentang tataran teologis. Artinya, pada tataran teologis kita harus meyakini bahwa setiap agama mempunyai ritualnya tersendiri, yang mana antara suatu agama atau keyakinan berbeda dengan yang lain.
Tapi dalam tataran sosial, dibutuhkan keterlibatan aktif di antara semua lapisan masyarakat untuk membangun sebuah kebersamaan. Sebab hanya dengan kebersamaan sebuah bangsa akan tumbuh dengan baik dan mampu melahirkan karya-karya besar bagi kemanusiaan universal. Oleh karena itu, pluralisme dalam tataran sosial lebih dari sekadar mengakui keragaman dan perbedaan, melainkan merangkai keragaman untuk tujuan kebersamaan.
Pluralisme secara nyata memberikan pesan penting, bahwa yang direkomendasikan olehnya adalah model toleransi aktif. Yaitu toleransi yang tidak sekadar mengakui perbedaan dan keragaman, tetapi lebih dari itu juga menjadikan perbedaan sebagai potensi untuk kerja sama dan dialog guna menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi umat manusia. Pluralisme hakikatnya bukan sekadar memahami keragaman, melainkan meningkatkan asimilasi dan pastisipasi aktif di semua level masyarakat.
Kedua, pluralisme lebih dari sekedar toleransi. Dalam toleransi akan lahir sebuah kesadaran tentang pentingnya menghargai orang lain. Tapi pluralisme ingin melampui capaian tersebut, yaitu menjadi sebuah upaya memahami yang lain melalui sebuah pemahaman yang konstruktif. Artinya, karena perbedaan dan keragaman merupakan hal yang nyata dan niscaya, maka yang diperlukan adalah adanya pemahaman yang baik dan lengkap tentang hal lain. Harus diakui bahwa entitas dalam masyarakat selalu mempunyai perbedaaan dan persamaan. Karena itu, setiap entitas tersebut harus memahami dengan baik dan tepat tentang perbedaan dan persamaan tersebut.
Ketiga, pluralisme bukanlah relativisme. Pluralisme adalah upaya menemukan komitmen bersama di antara berbagai komitmen. Setiap agama dan ideologi mempunyai komitmen masing-masing. Namun, dari sekian komitmen yang beragam tersebut, dicarikan komitmen bersama untuk memfokuskan perhatian pada upaya kepentingan bersama, yaitu kemanusiaan. Di sini, keberagaman dan pluralisme tetap dipertahankan dan tidak dihilangkan. Pluralisme mencari komitmen bersama untuk kemanusiaan. Sedangkan relativisme berada pada posisi menghilangkan posisi, bahkan menghilangkan kebenaran itu sendiri.
Pluralisme pada hakikatnya memerlukan inklusivisme sebagai sebuah tangga penting untuk menaiki level pluralisme. Pemahaman tentang adanya kesamaan di tengah perbedaan, menjadi sebuah keniscayaan yang harus dipenuhi sebelum memasuki ruang pluralisme.
Dari ketiga poin pluralisme tersebut, maka kemusykilan sedikit terjawab. Bahwa, pluralisme bukanlah paham yang meyakini semua agama adalah sama, tapi pluralisme merupakan paham yang secara eksplisit mendorong agar keragaman dijadikan sebagai potensi untuk membangun toleransi, kerukunan, dan kebersamaan. Bahkan lebih dari itu, toleransi yang dikehendaki oleh pluralisme adalah toleransi yang berdasarkan pemahaman yang menyeluruh, baik, dan tepat tergadap yang lain.
Landasan Teologis Pluralisme
Dalam Al-Qur’an (QS. Al-Hujurat [49]: 13): Allah swt berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: “Wahai manusia, sungguh kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti”. (QS. Al-Hujurat [49]:13).
Dalam Al-Qur’an, kata insan disebut 65 kali. Dari penyebutan sebanyak itu, insan memiliki tiga makna. Pertama, dihubungkan dengan keistimewaannya sebagai khalifah dan pemikul amanah serta tanggung jawab. Kedua, dihubungkan dengan predisposisi negatif pada diri manusia seperti cenderung zalim, kafir, tergesa-gesa. Ketiga, berkaitan dengan asal mula penciptaan manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan.
Bagi sebagian kalangan, keragaman merupakan ancaman. Namun bagi sebagian yang lain, keragaman meruntuhkan paham monisme yang melekat dalam baju kesukuan, kebangsaaan, dan keragaman. Bila ada pihak lain yang berbeda dengan komunitasnya, pasti hal tersebut dianggap sebagai musuh yang harus dihadapi dengan tindakan brutal. Pada tataran horizontal, harus diakui ada semacam ketakutan yang bersifat massif untuk hidup bersama.
Sudah jelas ayat tersebut secara eksplisit menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dalam jenis laki-laki dan perempuan, lalu menjadikan mereka berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Keragaman tersebut merupakan kehendak Allah, bahwa setiap makhluk-Nya harus mampu membangun toleransi dan saling pengertian. Ayat tersebut merupakan ayat Makkiyah, karena itu ayat tersebut menggunakan Ya Ayyuha al-Nass, di antaranya bertujuan untuk mengenalkan kepada manusia pentingnya ranah sosial. Karena, setiap manusia harus menghormati manusia yang lain, begitu pula setiap bangsa harus menghargai bangsa yang lain.
Sementara itu, tentang sebab turunnya ayat ini, dikisahkan bahwa Rasulullah memerintahkan kepada Bani Bayadhah agar mereka mengawinkan salah satu perempuan dari suku mereka dengan Abu Hindun. Akan tetapi mereka menolak, sembari berkata, “Apakah kami mengawinkan anak-anak perempuan kami dengan para budak”?
Kemudian Allah menurunkan ayat tersebut sebagai bukti bahwa, antara kalangan budak dan kalangan merdeka adalah setara. Pembeda di antara mereka bukanlah status sosialnya, melainkan ketakwaannya kepada Allah.
Imam al-Razi menegaskan, ketika Al-Qur’an menggunakan kata Inna Khalaqnakum, sesungguhnya terdapat rahasia Tuhan bahwa menjadi laki-laki dan perempuan bukanlah kehendak manusia. Menjadi laki-laki dan perempuan merupakan titah Allah. Salah satu konsekuensi yang harus diperhatikan adalah, sesama makhluk Allah tidak boleh membangga-banggakan antara yang satu dengan yang lainnya, termasuk silsilah keturunan dan status sosial.
Karena itu, ajaran toleransi dalam Islam sesungguhya mempunyai landasan teologis yang sangat kuat dan kukuh, karena didorong oleh spirit dari Allah. Hanya Allah swt lah yang Esa, sedangkan makhluk-Nya pasti beranekaragam.
Yang tak kalah penting juga, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa pluralisme bukan berarti mencampuradukkan dan memadukan unsur-unsur tertentu saja yang menguntungkan, mengarah pada pengaburan, melainkan lebih dari itu adalah bagaimana perbedaan itu memperkaya solidaritas terhadap sesama.