Hah, ternyata memang tak semudah yang dikira. Semua usahanya seperti menuang tinta di atas samudera. Dia selalu memakai mantra yang sama, ‘Tak ada batu yang tak bisa pecah, tak ada bumi yang tak bisa ditapaki. Dunia seluas samudera dan langit. Ada berjuta jalan untuk mencapainya.’ Itu adalah kalimat paling egois yang pernah di katakannya. Bagi Nuro itu adalah sebuah azimat yang bahkan dapat membuatnya kekal seribu Tahun bila mau.
Tapi dia sendiri seakan lupa dengan mantra terakhir peninggalan adiknya itu. Keinginannya untuk lulus cepat, mencari pekerjaan yang mapan dan menempatkan keluarganya pada hidup yang lebih layak masih sangat sulit dicapai. Menebus uang kuliahnya untuk akhir semester ini saja masih harus memutar otak. Waktunya yang terbatas karena tinggal di pondok mahasiswa harus dia atur sejeli mungkin. Tugas, kerja, rutinitas pondok, dan istirahatnya harus ditimbang secara matang. Terakhir kali abai dengan waktu tidurnya, Nuro berakhir dengan tubuh yang tak bisa bangun di kamarnya. Sakit. Semua tugas menumpuk, tak ada bayaran karena kerja. Uang habis untuk obat dan makan penambah stamina.
Makan teratur meski sederhana, asal ada karbohidrat, itu sudah cukup. Puasa tiap kali ada waktu, minimal dua kali seminggu. Tujuan utamanya untuk menghemat uang, sebagian untuk menambah amal. Mungkin niatnya tak benar-benar murni. Tapi dalam lubuk hatinya dia percaya ‘Tuhan pasti paham’ bahwa tak pernah ada niat yang paling murni selain dari jiwa para utusan-Nya.
“Nur, bangun! Gak kuliah? Ini waktunya Pak Weidro.” Wanita itu langsung terkesiap. Teman satu kamarnya itu hanya bisa menggeleng. Tanpa ucapan dia langsung menghadap laptopnya yang menyala sedari sepertiga malam.
“Oke, semua siap! Zah siapa yang mandi sekarang?”
“Si Ralda tuh sekarang.”
Nuro langsung saja memasang wajah sebal. Zah hanya bisa tertawa kecil sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.
“Nenek lampir itu kalau mandi sambil konser,” ketusnya.
Nuro mengepak semua keperluannya dalam tas. Termasuk baju ganti untuknya bekerja. Dan, sebuah gantungan kunci yang terbuat dari ekor kambing yang dikeringkan.
“Kak, lihat nih.” Karna mengibaskan sebuah potongan ekor kambing di depan Kakaknya. Masih lengkap dengan sedikit darah dan bau apek yang menusuk hidung. Jelas saja kakaknya naik pitam sembari menutup hidung.
“Hiiih, apaan tuh? Jijik, buang!”
“Ini bagus, nanti bisa di keringkan. Terus buat gantungan.” Karna langsung ngacir saja dengan kegirangan pulang ke rumah. Padahal belum selesai dia membantu menyembelih kambing untuk hajatan di rumah pakde mereka.
Nuro sendiri heran, selalu ada saja yang dibuat Karna untuk mainan. Seakan dia memiliki berjuta alasan untuk tak memasang wajah sedih. Di waktu sepersekian detik itu senyum adiknya kembali terlukis di benak Nuro. “Rindu ini hadir, namun kusadari aku tak bisa menggapaimu lagi,” bisiknya.
Pintu kamar terbuka, Ralda masuk dengan sebuah handuk terlilit di kepalanya. Mata Nuro membidik tajam ke arah pintu, dan beberapa orang di kamar juga sama. Sekejap mereka saling lirik, namun Nuro langsung menggaet handuk dan alat mandinya. Berlari menuju kamar mandi yang hanya ada dua. Dan dengan alasan itu semua harus saling berebut antrean siapa yang paling dulu memasukinya.
****
Meski tak sempat sarapan, Nuro berhasil datang tepat sebelum mata kuliah dimulai. Dia menantikan jam pelajaran ini selesai, pergi sarapan ke kantin dan menuju Maqha. Di sana akan ada ujian tulis lanjut untuk beasiswa. Tahap seleksi pertama dapat dilaluinya. Hanya tinggal menempuh tes tulis dan wawancara.
Jam pelajaran selesai, Zah mengajaknya ke kantin. Namun jalan di sana tiba-tiba ramai. Ada yang berkerumun dan menyumpal jalan. Seseorang tergeletak di sana, Keysha. Zah panik, teman sekamarnya itu tak tahu penyebabnya tiba-tiba tergelak tak sadarkan diri. Ambulan sudah dipanggil, tapi belum juga nampak rupanya. Dengan pertolongan beberapa pria mereka membawa Keysha ke salah satu teras rumah kosong di sana.
“Aduh, sebentar lagi tesku dimulai. Aku tinggal dulu bisa nggak?”
“Bentar ya, tunggu 15 menit lagi. Kalau ambulannya gak datang, kamu bisa pergi,” ucap Zah.
Waktu berlalu lama di pikiran Nuro. Padahal ambulan tepat datang pada menit ke-15. Dan gadis itu merangsek pergi dengan laju larinya. Dia sampai pada tiga perempat waktu tes yang terlewat. Langsung mengambil soal dan duduk pada tempat yang telah mapan. Belum juga ia sempat menghitamkan tigaperempat lembar tesnya. Giliran perutnya yang bak dililit ular sakit bukan kepalang. Pandangannya mulai gelap, langkahnya ditopang tangan pada bangku-bangku tergagap.
Nuro roboh bahkan sebelum lembar tesnya menyentuh bibir meja pengawas. Setengah jam berlalu, dan matanya tiba-tiba terkesiap “Ah, mimpi itu lagi,” ujarnya. Dia teringat tesnya dan tahu bahwa tak semua soal dapat dijawab. Dan yang terjawab pun belum tentu benar. Di ruang putih fakultas itu dia menahan tangisnya sendiri.
***
Belum selesai semua sedih di dadanya. Nuro yang kembali ke naungan pondoknya itu mendapat kabar, bahwa ibunya tengah sakit. Dia tak bisa melakukan apa pun kecuali mengirim semua uang hasil kerja paro waktunya ke desa. Sebagian ia rupakan obat yang sulit ditemui di desanya. Dia hanya bisa berpikir untuk puasa sampai ujung bulan. Belum lagi uang syariah pondok yang juga telah menunggak bulan lalu.
‘Semoga emak cepat sembuh, obat dan uang ini tak seberapa tapi semoga cukup. Nuro hanya bisa melangitkan doa karena usaha saya sudah pada batasnya. Biar Gusti yang menjadi perantara doa kita.’
Surat itu ia lampirkan beserta obat dan beberapa hasil keringatnya. Nuro baru bisa mengirimkannya setelah genap puasanya seminggu. Karena di tiap minggunya akan ada tukang pos ke sana. Jadi dia dapat menghemat uang makannya.
“Ini pak,” ulur tangan gadis itu.
“Mbak Nuro ya,” tukang pos mencatat namanya. Lalu sekejap merogoh tas untuk mengeluarkan sebuah surat.
“Ini mbk, ada kiriman untuk mbak.” Nuro hanya menekuk alis keheranan.
Sebuah surat balasan dari instansi beasiswa datang datang padanya. Saat dibuka dia buru-buru merengkuh suratnya dan berlari ke kamar sembari mengucap syukurnya.