Di dunia yang semakin sibuk dengan klaim kebenaran, satu pertanyaan sederhana sering luput dari perhatian: untuk apa sebenarnya agama ada?
Pertanyaan ini menggelitik. Sebab, dari ribuan tahun sejarah manusia, agama selalu hadir dengan wajah yang beragam. Ia menyapa dalam lantunan doa di masjid, gereja, pura, vihara, kuil, atau bahkan di tengah hutan, saat orang-orang adat menyalakan dupa bagi leluhur. Lalu muncul ironi: bukannya melahirkan kedamaian, agama justru sering memicu pertikaian.

Seolah-olah semakin banyak agama, semakin besar pula kemungkinan manusia terpecah. Benarkah begitu?
Bila kita mau jujur, agama adalah cermin. Ia memantulkan wajah kita, lengkap dengan kelemahan dan kebijaksanaan. Dalam ajaran yang luhur, manusia diajak menghormati hidup, menjaga sesama, dan merawat alam. Tapi dalam tangan yang serakah, agama berubah jadi senjata.
Itulah sebabnya, perang sering dimulai bukan karena agama, tapi karena ambisi manusia yang membungkus kepentingannya dengan simbol agama. Seperti pedang bermata dua, agama bisa menjadi jalan penyembuh atau alat penghancur.
Di titik ini, pertanyaannya bergeser: apakah kita sungguh-sungguh memahami agama, atau sekadar memakainya?
Kita terbiasa diajarkan toleransi. Kata yang indah, tapi sering dangkal. Toleransi bisa berarti: aku biarkan kamu ada, asal jangan ganggu aku. Hubungan seperti ini rapuh. Cukup satu provokasi, toleransi runtuh.
Yang lebih dibutuhkan hari ini adalah rasa bersama. Bahwa perbedaan bukan sekadar ditoleransi, melainkan dirayakan sebagai kekayaan. Bahwa orang lain yang berbeda iman bukan musuh, tapi sesama penghuni bumi yang punya keresahan sama takut kehilangan pekerjaan, cemas soal masa depan anak, khawatir terhadap bencana alam.
Saat kita berani mengakui rasa bersama itu, sekat agama menjadi cair. Kita bisa duduk dalam meja yang sama, bukan untuk membicarakan siapa yang benar, tapi bagaimana bersama-sama bertahan sebagai manusia.
Agama, bila dijalankan secara tulus, selalu memihak pada manusia yang paling rentan. Sejarah mencatat, hampir semua pendiri agama besar berdiri di pihak orang miskin, tertindas, dan tidak bersuara.
Namun, wajah agama hari ini sering berjarak dari nurani itu. Ia hadir di panggung besar, lengkap dengan pengeras suara dan barisan pengawal, tapi absen di gubuk-gubuk reyot tempat orang lapar menahan perut. Ia ramai di media sosial, tapi sunyi di lorong-lorong sepi tempat orang putus asa menahan tangis.
Maka, pertanyaannya: apakah agama masih setia pada misi dasarnya, atau sudah tersandera oleh ambisi manusia?
Krisis Bersama, Iman Bersama
Dunia hari ini menghadapi krisis yang tidak peduli agama: krisis iklim, krisis pangan, krisis kemanusiaan. Banjir tidak pernah bertanya keyakinan korbannya. Kekeringan tidak memilah sawah orang Islam atau Kristen. Perang tidak memilih peluru untuk umat Hindu atau Buddha.
Krisis ini menuntut solidaritas lintas iman. Agama-agama yang berbeda mestinya berhenti sibuk memperdebatkan siapa yang paling benar. Sebaliknya, mereka harus mengulurkan tangan untuk merawat bumi yang sama-sama kita pijak.
Agama yang sejati bukan yang sibuk menjaga simbol, melainkan yang berani terjun ke lumpur kemanusiaan. Menyeka air mata, menyelamatkan nyawa, mengembalikan harapan.
Namun, apa yang kita lihat? Di banyak tempat, simbol agama justru dipakai untuk mengeruk suara politik. Rumah ibadah dijadikan panggung kampanye. Doa dipakai sebagai senjata untuk mengutuk lawan. Kitab suci dipotong-potong untuk menguatkan kebijakan yang menindas.
Inilah ironi zaman: agama yang seharusnya melampaui kepentingan sempit justru dipaksa tunduk pada kekuasaan.
Dan kita, umatnya, sering ikut larut. Kita sibuk membela panji-panji identitas, tapi lupa bahwa ada manusia yang lapar di depan mata. Kita sibuk mendebat ayat di media sosial, tapi lupa bahwa tetangga kita kesulitan membayar sekolah anaknya.
Seni Merawat Perbedaan
Mungkin, yang paling mendesak hari ini bukan sekadar belajar toleransi, melainkan belajar seni merawat perbedaan. Perbedaan agama tidak akan pernah hilang. Bahkan, semakin global dunia ini, semakin nyata kita harus berjumpa dengannya.
Maka, seni itu harus dimulai dari hal sederhana: berani mendengar, berani hadir, berani menolong. Tak perlu menunggu forum resmi atau konferensi megah. Cukup dari sikap sehari-hari: menengok tetangga yang sakit meski beda agama, menjaga lingkungan bersama meski berbeda keyakinan, saling menolong saat bencana tanpa bertanya “kamu dari iman apa”.
Itulah seni yang sering hilang: kesediaan untuk melihat manusia lain sebagai manusia, sebelum melihat label agamanya.
Hari ini, agama berada di persimpangan. Ia bisa menjadi cahaya yang menuntun manusia keluar dari krisis, atau menjadi api yang membakar habis ikatan sosial.
Pilihan ada pada kita: apakah kita menjadikan agama sebagai pagar eksklusif, atau sebagai jembatan yang menghubungkan. Apakah kita sibuk dengan klaim kebenaran, atau berani melangkah menuju kepedulian.
Pada akhirnya, sejarah tidak akan menilai siapa yang paling benar dalam berdebat. Sejarah hanya akan mengingat siapa yang paling peduli terhadap sesama.
Dan mungkin, itulah inti dari semua agama: membuat kita lebih manusiawi.