Dalam beberapa dekade terakhir, masjid-masjid di Indonesia tampak lebih meriah dan mewah. Bangunannya semakin bagus. Jumlah jemaahnya semakin banyak. Artinya, masjid telah menjadi pusat ruang ritual ibadah. Namun demikian, fungsi masjid sebagai ruang publik, ruang kehidupan masyarakatnya, masih menjadi tanda tanya.
Mungkin, kalau kita dengar kata masjid, yang terbesit dalam benak kita adalah salat, ibadah, baca Al-Qur’an, i’tikaf, dan sebagainya. Padahal, masjid sangat bisa dijadikan sebagai ruang ketiga publik. Padahal, hal ini juga tak kalah pentingnya.

Ide saya menulis ini bermula setelah saya mengetahui dua hal. Pertama, fakta sejarah bahwa di zaman Nabi ketika di Madinah, peran masjid tak hanya sebagai tempat ibadah, tapi punya peran penting lain. Intinya, multifungsi.
Kedua, setelah saya mengetahui yang namanya teori ruang publik. Teori ini pertama kali dicetuskan oleh Ray Oldenburg, seorang sosiolog urban Amerika. Dalam bukunya berjudul The Great Good Place: Cafes, Coffee Shops, Bookstores, Bars, Hair Salons, and Other Hangouts at the Heart of a Community yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1989, Oldenburg mencetuskan teori ini. Oldenburg menjelaskan bahwa Ruang Ketiga (seperti kedai kopi, pub, atau alun-alun) sangat penting untuk demokrasi dan vitalitas komunitas karena menawarkan tempat yang netral dan inklusif untuk interaksi sosial yang santai.
Fakta Sejarah
Sejarawan Islam terkemuka, W. Montgomery Watt, dalam karya fundamentalnya seperti Muhammad at Medina (terbit pertama tahun 1956), secara cermat menganalisis bagaimana Masjid Nabawi didirikan bukan sekadar sebagai tempat ritual. Watt berpendapat bahwa Nabi Muhammad SAW secara strategis menempatkan masjid sebagai poros sentral dan kantor pusat pemerintahan kota Madinah. Di tempat inilah segala urusan umat diputuskan. Seperti, penerimaan delegasi asing, pengumpulan dana sosial (zakat), hingga perencanaan urusan militer.
Bagi saya, analisis Watt ini menunjukkan bahwa integrasi fungsi keagamaan dengan fungsi sosial-politik ini adalah kunci keberhasilan Nabi dalam membentuk komunitas terpadu. Juga membuktikan bahwa Islam awal menyatukan aspek rohani dan jasmani dalam satu ruang.
