Berkali-kali terdengar peringatan tentang teror keadaan dan situasi akhir zaman. Siasat untuk rekrutmen jamaah secara masal. Mengancam dengan hukuman pascakematian dan mengiming-imingi kenikmatan pada kesalehan. Modernitas membawa manusia dalam angan-angan kemajuan dan kesejahteraan. Namun modernitas belum cukup mampu menjawab persoalan sejarah dan tantangan beragama di masa depan.
Digitalisasi kehidupan memaksa manusia menghibahkan waktu dan pikirannya untuk bermedia sosial. Perihal pendapatan ekonomi, pemenuhan informasi terkini, isu politik, hingga kebutuhan rohani digantungkan pada sistem media komunikasi. Kemudian dijadikan sarana artikulatif seseorang untuk mengekspresikan dirinya. Sampai pada gelora dakwah untuk memasarkan ideologi ke pasar yang lebih luas.
Kontestasi dakwah bukan hanya tentang ideologi, melainkan pada motif popularitas dan ekonomi. Membanjirnya informasi patut disyukuri sebagai keniscayaan kemajuan teknologi, sebaliknya menjadi kegelisahan ketika media menjadi objek hilangnya kepakaran dan intelektualitas informasi. Masyarakat dicekoki hoaks yang gampang menyulut emosi. Menajamkan konflik hingga perilaku anarkisme.
Tidak ada standar nilai dakwah yang ideal untuk dikonsumsi masyarakat. Perpecahan semakin nyata terjadi ketika agama semakin masif terkotak-kotak. Media menjadi penyebab kesenjangan penampilan formalitas dan kualitas dakwah. Ditambah fanatisme umat yang rendah literasi dan malas berpikir secara kontekstual. Akibatnya agama bisa dengan mudah ditunggangi politik untuk mengantongi suara di pemilu. Politik identitas beberapa tahun ke belakang adalah bukti konkret gagapnya masyarakat yang belum siap dengan pesatnya kemajuan teknologi digital.
Mengidolai tokoh tanpa mengetahui kepribadian (personalitas) aslinya. Meyakini dan mengakui kualitas pengetahuan dan keimanan seorang dari media yang penuh manipulatif. Dakwah didesain sedemikian rupa untuk mempengaruhi (doktrin) masyarakat agar fanatik dan berani melawan musuh (yang berbeda ideologi). Setidaknya hingga saat ini, konflik agama masih menjadi konsumsi utama di dunia digital.
Perang narasi, adu argumen, dan caci maki mewarnai riuh media sosial sebab ketidakmauan menerima perbedaan pandangan. Pendakwah juga banyak yang tidak berperilaku sebagai seorang tokoh spiritual yang mementingkan persatuan daripada perpecahan. Penyataan provokatif sering menyulut konflik yang jika dikelola bisa menjadi perdebatan nasional. Media sedikit-banyak menghilangkan esensi dakwah yang mengajak pada kedamaian namun dimanipulasi menjadi ajakan kekerasan.