Menuju akhir tahun 2025 saudara kita yang ada di Aceh, Sumatra Utara (Sumut), dan Sumatra Barat (Sumbar) tengah menghadapi hari-hari yang kelam. Bencana banjir dan longsor yang melanda tiga provinsi tersebut hingga kini dampaknya masih terus berlangsung dan menyisakan trauma yang mendalam bagi warga. Bencana ini menyebabkan ratusan korban jiwa, merusak ribuan rumah, memutus akses jalan, melumpuhkan listrik dan memaksa ratusan ribu keluarga harus mengungsi ke tempat yang lebih aman.
Menurut analisis pakar dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Muhammad Rais Abdillah dan Heri Andreas, intensitas hujan yang tinggi dan kawasan vegetasi alami yang kian terdegradasi menjadi penyebab bencana banjir di Sumatra Utara (itb.ac.id, diunggah 28 November 2025). Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatra Utara menjelaskan, akar dari bencana banjir di Pulau Sumatra ini adalah karena kerusakan ekologis dari illegal logging yang cukup masif dan aktivitas industri ekstaraktif yang menyebabkan kerusakan hutan dan lahan oleh sejumlah perusahaan. Hal ini menegaskan bahwa akar bencana bukan hanya masalah cuaca namun mencerminkan krisis moral dan kegagalan manusia menjadi khalifah fil ardh.

Hakikatnya, fungsi dari khalifah fil ardh manusia bukanlah legitimasi penguasaan total, namun tanggung jawab dalam etika lingkungan yang harus dipenuhi (Rakhmat, 2022). Ketimpangan yang terjadi antara relasi manusia dan alam ini merupakan akibat dari ulah tangan keserakahan manusia.
Bagaimana tidak, dikutip dari laman World Research Institute, Indonesia menjadi negara yang kehilangan hutan primer tropis lembab peringkat kedua dunia dalam kurun waktu 2002-2023. Tentu hal ini bukan suatu hal yang layak untuk dibanggakan. Oleh karena itu perlu keasadaran kolektif dalam menjaga alam sekitar untuk memenuhi fungsi manusia sebagai khalifah fil ardh.
Bencana yang terjadi ini menjadi sarana refleksi bagi kita semua yang menjadi pemimpin di muka bumi ini, bagaimana posisi kita dalam berhubungan dengan alam, terhadap ciptaan, dan terhadap sang pencipta. Dari sinilah ekoteologi menjadi relevan.
