Membaca Ulang Hubb al-Watan min al-Iman: Telaah Pemikiran Politik KH Hasyim Asy’ari dan Relasi Agama-Negara*

Ungkapan Ḥubb al-Watan min al-Iman telah menjadi slogan penting dalam diskursus keislaman dan kebangsaan di Indonesia, khususnya dalam tradisi Nahdlatul Ulama (NU). Sebuah ungkapan yang jamak dimaknai sebagai ekspresi rasa nasionalisme atau patriotisme dalam balutan agama.

KH Hasyim Asy’ari.

Hal tersebut tampak pada seringnya ungkapan itu muncul pada setiap momen besar, seperti pada Hari Kemerdekaan atau Hari Santri Nasional, setiap tahunnya; biasanya dibarengi dengan cerita-cerita mengenai kontribusi para ulama dalam perjuangan nasional. Sebuah ingatan sejarah yang terus ditanam dan diwariskan dari generasi ke generasi; bahwa NU adalah bagian dari aktor pejuang kemerdekaan dan perlawanan terhadap penjajah.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Pemaknaan ini sebenarnya bisa dibaca dari dua sudut pembacaan: di satu sisi, ia dapat dilihat sebagai alat mobilisasi untuk membangkitkan semangat perlawanan, dan di sisi lain, juga memungkinkan untuk dilacak sebagai bagian dari ekspresi hubungan agama-negara dalam tradisi Sunni.

Transformasi pemaknaan, sebagaimana diasumsikan penulis, dapat ditelaah dari sisi historisnya. Versi yang paling lama terkait kemunculan pernyataan Ḥubb al-Watan min al-Iman adalah pendapat yang menyebut bahwa kalimat tersebut sudah menjadi perbincangan (mengenai keotentikannya) beratus-ratus tahun lalu, seperti dalam al-Maqashid al-Hasanah karya Imam Sakhawi, Kasyf al-Khafa karya al-‘Ajluni, Silsilat al-Ahadits al-Maudhu‘ah karya al-Albani, dan ulasan Mula al-Qari dari beberapa pendapat dalam karyanya al-Asrar al-Marfu‘ah.

Lalu, pada masa setelahnya, slogan ini dipopulerkan oleh Butrus al-Bustani (w. 1883 M), seorang Nasrani asal Lebanon, dalam konteks nasionalisme Arab pada abad ke-19. Kemudian, dalam konteks Indonesia, slogan ini digunakan oleh KH Hasyim Asy’ari (w. 1947 M) untuk membangkitkan perlawanan terhadap penjajah dan perjuangan kemerdekaan, mirip yang dilakukan al-Bustani.

Atas dasar pertimbangan historis ini, pembacaan terhadapnya menjadi penting untuk melihat bagaimana pergeseran pemaknaannya Imam Sakhawi hingga KH Hasyim Asy’ari dan implikasi di masa setelahnya.

Selama ini, beberapa penelitian yang sudah dilakukan belum menyentuh persoalan dalam subjek tersebut. Sejauh yang ditemukan, terdapat tiga kecenderungan dalam penelitian yang ada. Pertama, penekanan terhadap implikasi kebangsaan, seperti dalam Khalimatus Sadiyah, dkk. atau Zaidatur Rofiah. Kedua, penekanan dalam konteks pendidikan, seperti yang dilakukan oleh Hamidulloh Ibda. Dan, ketiga, penekanan pada analisa sejarah seperti yang dilakukan oleh Ahmad Munjin Nasih dan Meidi Saputra yang menyebut slogan Hubbul Wathan sebagai hasil dari dialektika yang lahir dari rahim tarekat Shiddiqiyah.

Dari semua penelitian tersebut, belum ada yang menyentuh ranah pergeseran makna dan hubungannya dengan konteks agama-negara dalam tradisi Sunni. Atas dasar itu, penulis hendak menjawab apakah slogan ini ada kaitannya dengan ekspresi hubungan ulama Sunni dengan pemerintah atau penguasa? Dan bagaimana slogan ini dimaknai dari waktu ke waktu? Dua pertanyaan ini penting diajukan karena berimplikasi terhadap pemaknaannya di masa kini.

Asal-usul Hubb al-Watan

Perbincangan mengenai asal-usul slogan Ḥubb al-Watan min al-Iman telah membuktikan bahwa ia tidak murni lahir di Indonesia melalui KH Hasyim Asy’ari (meskipun ada yang mengatakan KH Abdul Wahab Chasbullah). Terdapat dua pendapat mengenai asalnya. Pertama, slogan ini disebut berasal dari seorang nasionalis Suriah pertama bernama Butrus al-Bustani. Sebagaimana disampaikan Syafiq Mughni, salah satu tokoh Muhammadiyah, bahwa Butrus al-Bustani menggunakannya untuk memobilisasi kebangkitan semangat pembaharuan pada masyarakat Suriah di bawah kekuasaan kesultanan Turki Utsmaniyah.

Kedua, seperti yang disampaikan Hilmy Muhammad, salah satu tokoh NU, bahwa slogan ini berasal jauh sebelum itu. Bahkan ia menilai penyebutan asal pertama slogan ini dari Butrus al-Bustani adalah keliru, karena faktanya slogan tersebut sudah muncul dalam karya Imam Sakhawi (w. 1497 M). Dari dua perbedaan yang terlihat, menunjukkan bahwa slogan tersebut bukan murni dari KH Hasyim, melainkan dari ratusan tahun yang lalu.

Meskipun, cacatan paling jauh slogan ini terdapat dalam karya Imam Sakhwi, namun bukan berarti ia berasal darinya. Sebab, Imam Sakhawi hanya mengulas mengenai keotentikan kalimat tersebut, apakah ia termasuk hadis atau bukan. Ulama-ulama setelahnya seperti Muhammad al-Qari al-Harawi al-Hanafi (w. 1606 M), Muhammad al-‘Ajluni (w. 1749 M), dan Muhammad Nashiruddin al-Albani (w. 1999 M), juga mengulasnya.

Sebenarnya, tiga tokoh yang disebut kemudian jarang muncul dalam pembahasan slogan ini, yang paling sering adalah nama Imam Sakhawi dan/atau Syekh Muhammad Ali, pengarang syarah (penjelasan) kitab Riyadh as-Shalihin berjudul Dalil al-Falihin. Meskipun demikian, dari semua ulama yang disebutkan tadi, semuanya sepakat bahwa tidak ada di antara ulama yang mengakui kalimat itu sebagai hadis. Sebagai gambaran, berikut pendapat Imam Sakhawi dalam Maqasid al-Hasanah minal Ahadits al-Masyhurah ‘alal Alsinah: “Aku tidak menjumpai riwayat (hubbul wathan minal iman) sebagai hadis, tapi secara substansial maknanya benar.”

Penerimaan Imam Sakhawi, berikut juga ulama-ulama setelahnya, mengalami pemaknaan yang berubah. Tranformasi ini bisa dilihat ketika slogan Hubbul Wathan dipakai oleh Butrus al-Bustani dan KH Hasyim Asy’ari. Pada al-Bustani, term Hubbul Wathan muncul dalam pamflet yang diterbitkannya pada September 1860 M, yang mengajak masyarakat Suriah untuk menghentikan kekerasan sektarian demi persatuan atas dasar cinta bersama terhadap bangsa dan tanah air (hubb al-watan). Baginya, solidaritas rakyat harus disatukan melalui identitas bangsa, alih-alih tuhan.

Hal tersebut sedikit tampak berbeda dengan KH Hasyim Asy’ari yang menyatukan keduanya, yakni antara religiusitas dan nasionalisme. Namun, tujuan untuk mencegah pelbagai kelompok agama untuk berjalan sendiri-sendiri dengan menyatukannya dalam identitas kebangsaan, serupa dengan tujuan yang dilakukan al-Bustani.

Relasi Agama-Negara dalam Tradisi Sunni

Dalam slogan Hubb al-Wathan Min al-Iman, terdapat dua kata yang menggambarkan hubungan antara negara dengan agama, yaitu wathan dan iman. Meskipun, sejauh ini, belum ada yang menyebutnya terkait dengan relasi tersebut, tapi indikasi ini dapat diperkuat dengan fakta bahwa ulama-ulama yang telah disebutkan sebelumnya adalah bagian dari ulama Sunni.

Dalam konteks hubungan negara dan agama, ulama Sunni sering kali berperan untuk mencegah perpecahan dan meminimalkan ancaman bagi negara. Tatanan politik semacam itu tentu didasarkan kepada perjanjian tak tertulis antara negara dan ulama. Seringkali negara juga menggunakan lembaga keagamaan untuk kepentingan legitimasi. Dominasi negara atas bidang keagamaan sudah terjadi dalam tradisi Sunni sejak abad ke-17 di kekaisaran Usmaniyah ketika pejabat agama menjadi bagaian dari birokrasi. Kontrol negara terhadap ulama kemudian menjadi norma hingga saat ini. Dalam pada ini, sudah jelas bahwa bukan agama yang menggerakkan politik, namun sebaliknya, politiklah yang menggerakkan agama.

Berpindah sejenak ke peristiwa Arab Spring, Islam sering dinilai sebagai anti-revolusi, imbas dari ulama-ulama yang lebih pro terhadap pemerintah daripada rakyat. Dalam pandangan A Bayat, penilaian itu tak sepenuhnya benar, sebab ada juga unsur-unsur revolusioner dalam tubuh Islam, khususnya Syi’ah dan Sunni. Syi’ah sebenarnya lebih rentan terhadap revolusi dan protes daripada Sunni. Hal ini diduga disebabkan karena Syi’ah mewakili kelompok minoritas yang membuat mereka condong lahir sebagai agama protes. Kisah perjuangan Imam Hussein melawan Mu’awiyah yang kuat dan menindas menjadi dasar doktrinal dan historis radikalisme Syi’ah.

Namun demikian, Sunni juga memiliki unsur-unsur revolusionernya. Hasan al-Banna memiliki konsep negara dan masyarakat jahiliah yang ia ambil dari pemikiran al-Maududi. Pada tahun 80-an, juga banyak para menganut Marxisme dari Sunni, seperti Tariq al-Bisri, Muhammad Imarah, dan lainnya, beralih ke Islamisme, sehingga paham-paham Marxis dibawa ke ranah politik yang menggambarkan ideologi dunia ketiga yang melawan imperialisme, zionisme, dan sekularisme.

Menariknya, Islam bertindak sebagai struktur idealogi dan moral yang di dalamnya politik dan revolusi yang penuh pertentangan diberi makna. Konsep Islam juga dapat digunakan secara sengaja untuk membingkai gerakan revolusioner, baik untuk membenarkan, meligitimasi, memuliakan, dan memperluas daya tarik gerakan. Islam juga bisa campur tangan dalam perjuangan revolusioner bukan hanya sebagai ideologi, tapi juga pertanda kepentingan pribadi. Dan ulama, sebagai penjaga gerbang, telah berfungsi sebagai faktor legitimasi utama bagi para penguasa Timur Tengah.

Hal tersebut mungkin bisa sedikit menjelaskan bagaimana pemikiran KH Hasyim Asy’ari, yang Sunni, bergerak dalam perihal politik perjuangan kemerdekaan dan kecintaan terhadap bangsa, khususnya dengan memunculkan slogan Hubb al-Wathan Min al-Iman.

KH Hasyim Asy‘ari: Menyatukan Identitas Kebangsaan dan Keagamaan

KH Hasyim Asy‘ari merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah kebangsaan Indonesia yang secara konsisten menjembatani antara nilai-nilai keislaman dan semangat nasionalisme. Adapun, puncak kontribusinya dalam perjuangan tersebut tampak jelas dalam momen krusial pasca-kemerdekaan, tepatnya pada 17 September 1945, ketika ia mengeluarkan fatwa jihad (resolusi jihad).

Fatwa tersebut menyatakan bahwa membela tanah air dari agresi penjajah merupakan kewajiban bagi setiap Muslim, baik secara individu maupun kolektif. Sebuah penafsiran makna jihad yang tentunya kontekstual yang selaras dengan kondisi saat itu. Fatwa tersebut menjadi fondasi moral dan spiritual yang menggerakkan laskar-laskar santri, seperti Hizbullah dan Sabilillah, untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari ancaman rekolonialisasi Belanda.

Fatwa jihad KH Hasyim Asy‘ari mencerminkan sebuah tafsir kebangsaan yang mendalam dari perspektif Islam. Ia memaknai cinta tanah air (ḥubb al-waṭan) sebagai bagian dari iman, sehingga membela negara bukanlah tindakan sekuler yang terpisah dari agama, melainkan bentuk nyata dari pengamalan ajaran Islam.

Dalam kerangka tersebut, nasionalisme tidak diposisikan sebagai ideologi Barat yang bertentangan dengan Islam, tetapi justru dipahami sebagai ekspresi keimanan yang kontekstual. Oleh karena itu, gagasan kebangsaan KH Hasyim Asy‘ari mengandung dimensi spiritual yang kuat, menjadikan perjuangan politik dan militer sebagai bagian dari ruh perjuangan. Ruh perjuangan tersebut mempunyai dua bentuk. Pertama, ruh al-jihad yang mengajarkan bahwa menyebarkan Islam berarti memperbaiki kemanusiaan, dan perjuangan adalah bentuk pengorbanan yang harus dihadapi dengan ketangguhan. Kedua, ruh al-ittihad yang berarti semangat persatuan di antara umat Islam. Ia menyerukan pentingnya menjalin kesatuan antara generasi muda dan tua serta mengajak umat Islam untuk mengesampingkan perbedaan demi memperkuat persatuan nasional.

Pernyataan yang mengatakan bahwa dalam sekularisme agama terpisah dengan negara tidak sepenuhnya benar. Menurut Nadia Fadil, subjek yang secara kasat mata diasumsikan modernitas sekuler dengan kehidupan religius dan politik yang terpisah, tidak menjadi persoalan bagi siapapun untuk beradaptasi dengan harapan kehidupan sosial semacam itu. Elemen religius, politik, dan lainnya sebagian besar saling terikat; tidak hanya mencoba menyesuaikan diri dengan harapan kehidupan modern, tetapi juga mencoba menemukan kompromi dengan harapan implisit dan eksplisit dari masyarakat secara keseluruhan. Meskipun, lanjut Nadia, proses penyeimbangan itu sering kali rapuh dan cukup diawasi dengan curiga dalam iklim politik kontemporer.

Namun, setidaknya, dalam situasi inilah, pemikiran KH Hasyim Asy‘ari menjadi jembatan antara identitas keagamaan dan identitas kebangsaan. Ia tidak hanya menciptakan sintesis antara Islam dan nasionalisme, tetapi juga memberikan landasan teologis bagi keterlibatan umat Islam dalam membangun negara-bangsa yang merdeka dan berdaulat. Warisannya masih terasa hingga kini, terutama dalam peran besar Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keagamaan yang tetap berkomitmen pada integrasi antara nilai-nilai Islam dan kebangsaan Indonesia.

Implikasi Ideologis di Masa Kini

Dalam konteks saat ini, di mana tidak ada keterdesakan kondisi sebagaimana dulu saat KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa jihad, slogan “Hubb al-Wathan Min al-Iman” memunculkan pertanyaan: apakah ia berimplikasi pada loyalitas yang pasif atau menjadi fondasi resistensi yang aktif? Di satu sisi, cinta tanah air sebagai bagian dari iman dapat dimaknai sebagai komitmen untuk menjaga keutuhan negara dalam kondisi apa pun, termasuk ketika negara menjadi otoriter. Namun di sisi lain, jika cinta tanah air dipahami secara kritis, maka justru dorongan iman itu seharusnya mendorong warga negara untuk melawan ketidakadilan demi menjaga martabat bangsa. Di titik ini, tafsir atas slogan tersebut menjadi sangat menentukan posisi ideologis masyarakat Muslim, khususnya warga Nahdlatul Ulama, dalam merespons perilaku rezim.

Doktrin cinta tanah air menjadi bentuk kesetiaan simbolik terhadap negara, yang jika tidak disertai sikap kritis akan jatuh pada fanatisme. Menurut Syekh al-Utsaimin (w. 2001 M), salah seorang penghulu ulama Salafi di Saudi Arabia dan pernah menjabat sebagai ketua Hai’ah Kibarul Ulama, cinta tanah air akan menjatuhkan seseorang dalam fanatisme. Namun, hal itu dibantah oleh salah satu tokoh Nahdliyyin yang juga mantan Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siroj, bahwa pernyataan Hubbul Wathan minal Iman bukanlah sebuah fanatisme. Dalam hal ini, hubbul wathan dapat memungkinkan untuk bertransformasi menjadi bentuk nasionalisme yang alpa dari etika perlawanan. Padahal, dalam konteks sejarah KH Hasyim Asy‘ari, cinta tanah air justru menjadi spirit untuk melawan penjajahan dan membela rakyat. Maka, menjadi sebuah tantangan saat ini untuk bagaimana memegang teguh semangat hubbul wathan sebagai kekuatan moral yang mampu menumbuhkan keberanian untuk berkata benar di hadapan kekuasaan yang represif.

Secara psikologis dan politis, NU menunjukkan kecenderungan untuk mempertahankan harmoni sosial dan menghindari konflik terbuka, sebuah warisan dari pendekatan tradisional dan pesantren yang mengutamakan ketertiban dan adab. Kedekatan PBNU dengan negara akhir-akhir ini (lihat kasus konsesi tambang dan lainnya) juga mendapat beberapa sorotan kritis dari para cendikiawan, bahkan dari tubuh NU itu sendiri, seperti Nadirsyah Hosen.

Kecenderungan semacam itu sering kali rentan dimanfaatkan oleh elite politik untuk memobilisasi dukungan atau membungkam kritik dengan mengatasnamakan nasionalisme religius. Oleh sebab itu, suara-suara progresif di kalangan intelektual muda dan aktivis pesantren yang mencoba menafsirkan ulang nasionalisme Islam dalam kerangka keadilan sosial dan hak asasi manusia harus terus dijaga. Artinya, slogan Hubb al-Wathan Min al-Iman harus senantiasa dimaknai ulang dengan adil agar tidak terjebak pada konservasi loyalitas.

Penutup

Sebagai penutup, dapat ditegaskan bahwa slogan Ḥubb al-Wathan Min al-Iman bukanlah sekadar ungkapan simbolik tanpa makna, tetapi merupakan representasi dari dialektika panjang antara keislaman dan kebangsaan dalam sejarah umat Islam, khususnya dalam tradisi Sunni. Melalui KH Hasyim Asy‘ari, slogan ini mengalami transformasi sebagai bentuk teologis sekaligus ideologis yang mendukung perjuangan kemerdekaan dan pembentukan identitas nasional Indonesia.

Namun demikian, dalam konteks kekinian, pemaknaan terhadap slogan ini tidak boleh berhenti pada loyalitas kosong terhadap negara, melainkan harus terus dihidupkan sebagai energi moral untuk merawat kebangsaan yang adil, kritis, dan berpihak pada rakyat. Dengan begitu, semangat Hubb al-Wathan Min al-Iman tetap relevan sebagai fondasi etis dalam membangun masyarakat yang berdaulat secara politik, bermartabat secara sosial, dan berkeadilan secara spiritual.

*Juara 2 Lomba Penulisan Esai “Aktualisasi Pemikiran KH Hasyim Asy’ari” dalam rangka perayaan ulang tahun ke-6 jejaring duniasantri, Agustus 2025. Naskah asli berjudul “Membaca Ulang Hubb al-Watan min al-Iman: Telaah Pemikiran Politik KH Hasyim Asy’ari dan Relasi Agama-Negara dalam Tradisi Suni”.

Referensi

AM, Ahmad Muntaha. Siapa Bilang Hubbul Wathan Minal Iman itu Hadis Nabi? Nuonline. 2022. Diakses pada 7 Agustus 2025. https://islam.nu.or.id/ilmu-hadits/siapa-bilang-hubbul-wathan-minal-iman-itu-hadits-nabi-QRxgP

Asiah, Nur., Subakti, Ganjar Eka. “Upaya Nahdlatul Ulama dalam Melawan Kolonialisme dan Imperialisme pada Masa Pergerakan Nasional Indonesia 1926 – 1942.” Misykat al-Anwar. Vol. 7, No. 2 (2024).

Ayoob, Mohammed. “The Many Faces of Political Islam: Religion and Politics in the Muslim World,” 2008, 1, https://doi.org/10.5860/choice. 3-5

Bayat, Asef, “Life as Politics: How Ordinary People Change the Middle East,” 2010, 222, https://doi.org/10.5117/9789053569115. 229-32

Choironi, M. Alvin Nur. Hubbul Wathan Minal Iman Bukan Hadis?. Islami.co. 2024. Diakses pada 7 Agustus 2025 https://islami.co/hubbul-wathan-minal-iman-bukan-hadis/

David. Pondok Pesantren Modern Sajdah Makkiyah Pontianak Gelar Upacara Hari Kemerdekaan. Kalbarsatu.id. 2023. diakses pada 7 Agustus 2025. https://kalbarsatu.id/daerah/pondok-pesantren-modern-sajdah-makkiyah-pontianak-gelar-upacara-hari-kemerdekaan/

Fadil, Nadia. “‘We Should Be Walking Qurans’: The Making of an Islamic Political Subject,” in Politics of Visibility, 2021, 76, https://doi.org/10.1515/9783839405062-002

Hedar. Lagu Ya Lal Wathon Menggema pada Peringatan Hari Santri 2022. 2022. Diakses pada 7 Agustus 2025. https://sulbar.kemenag.go.id/wilayah/lagu-ya-lal-wathon-menggema-pada-peringatan-hari-santri-2022-fnNBS

https://alpha.dpd.go.id/artikel-detail/hubbul-wathan-minal-iman-sudah-didiskusikan-sejak-sekitar-500-tahun-lalu

https://lspt.or.id/kajian/hubbul-wathon-minal-iman-cinta-tanah-air-yang-dianjurkan-dalam-islam/ Diakses pada 7 Agustus 2025

https://nasional.kompas.com/read/2024/01/21/15495291/soroti-hubungan-pbnu-dengan-pemerintah-jokowi-gus-nadir-dekat-atau-melekat?page=all

https://www.tempo.co/politik/kata-ketum-pbnu-soal-wahabi-lingkungan-dan-izin-tambang-nu-1804425#goog_rewarded

Ibda, Hamidulloh. “Konsep Hubbul Wathan Minal Iman dalam Pendidikan Islam Sebagai Ruh Nasionalisme.” International Journal Ihya’ ‘Ulum Al-Din Vol 19 No 2 (2017). DOI: 10.21580/ihya.18.1.1740

Ilham. Sejarah Awal Mula Slogan Hubbul Wathan Minal Iman. Muhammadiyah.or.id. 2022. Diakses pada 7 Agustus 2025. https://muhammadiyah.or.id/2021/10/sejarah-awal-mula-slogan-hubbul-wathan-minal-iman/

Kasdini, Yusuf Alfiansyah. Pencipta Ya Lal Waton, Lagu Yang Menggema Saat Hari Santri. 2024. Diakses pada 7 Agustus 2025. https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-7600985/pencipta-ya-lal-wathon-lagu-yang-menggema-saat-hari-santri

Lubis, Ardiansyah., Bakar, M. Yunus Abu., Fuad, Ah. Zakki. “Islamic Thought of Kh. M. Hasyim Asy’ari in Fostering Love for the Motherland.” FIKROTUNA; Jurnal Pendidikan dan Manajemen Islam Volume. 13, Nomor. 02, Desember 2024. 52

Rachman, Taufiqur. Pesantren Shiddiqiyyah Ploso Gelar Dua Upacara, Tasyakuran Kemerdekaan dan Berdirinya NKRI. Koranmemo.com. 2024. Diakses pada 7 Agustus 2025. https://www.koranmemo.com/daerah/19213367646/pesantren-shiddiqiyyah-ploso-gelar-dua-upacara-tasyakuran-kemerdekaan-dan-berdirinya-nkri

Rofiah, Zaidatur. “Telaah Konseptual Slogan Hubbul Wathan Minal Iman KH. Hasyim Asy’ari dalam Meningkatkan Kesadaran Bela Negara.” Jurnal Lentera Vol. 21 No. 1 (Maret, 2022).

Sadiyah, Khalimatus., Nisah, Nurul., Zainuddin, Muhammad. “Kajian Teoritis tentang Hubbul Wathan Minal Iman dalam Upaya Menjaga Eksistensi Pancasila.” De Cive: Jurnal Penelitian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 1 (2) 2021

Shaw, Joey. “BUTRUS AL-BUSTANI AND THE AMERICAN MISSIONARIES: Towards a Harmony of Understanding of the Advent of the Nahdah.” St Francis Magazine 5:3 (June 2009). 82-83

Wiryono, Singgih. Hubbul Wathan Minal Iman! Esqnews.id. 2023. Diakses pada 7 Agustus 2025. https://www.esqnews.id/berita/hubbul-wathan-minal-iman

Zunus, Muhammad. Mengurai Perdebatan Slogan Hubbul Wathan minal Iman. Arina.id. 2024. Diakses pada 8 Agustus 2025. https://www.arina.id/islami/ar-3AxHv/mengurai-perdebatan-slogan-hubbul-wathan-minal-iman+cetak

Multi-Page

Tinggalkan Balasan