Membumikan Trilogi Ukhuwah NU sebagai Benteng Intoleransi

47 views

Kemenangan Taliban di Afganistan membangkitkan euforia kelompok Islam radikal di Indonesia. Mereka semakin yakin dengan kemenangan umat Islam dalam pemahaman yang sangat sempit: Islam hanya bisa tegak dan berdiri kokoh di atas kilatan pedang dan lautan darah. Taliban memberi energi positif kepada kelompok Islam garis keras. Dan hal ini justru akan membunyikan alarm intoleran, radikalisme, sampai terorisme.

Baru-baru ini misalnya, kasus perusakan masjid Ahmadiyah di Sintang, telah menutup keran kebebasan beragama bagi setiap masyarakat Indonesia. Padahal konstitusi menjamin kebebasan beragama, seperti tercantum dalam Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945:

Advertisements

“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”

Dan diperkuat dengan Pasal 28E ayat (2)  UUD 1945, menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Jadi, setiap warga negara Indonesia diberi kesempatan untuk memilih agama dan kepercayaan. Tentu berdasar pada keyakinan dan selera masing-masing tanpa adanya penekanan dan paksaan dari siapapun, termasuk negara. Tapi, faktanya di lapangan banyak kasus yang justru menunjukkan bahwa keberagamaan kita masih eksklusif.

Dalam catatan Setara Institute, ada sekitar 39 peristiwa pelanggaran KBB sepanjang tahun 2020, di antaranya 32 kasus terkait pelaporan penodaan agama, 17 kasus penolakan pendirian tempat ibadah, dan 8 kasus pelarangan aktivitas ibadah. Kemudian, 6 kasus perusakan tempat ibadah, 5 kasus penolakan kegiatan dan 5 kasus kekerasan (Kompas.com, 6/4).

Persoalan intoleransi masih terus mencuat di Indonesia, dan pemerintah merespons dengan menyuarakan tentang moderasi beragama, anti radikalisme, dan terorisme. Yang sebenarnya, radikal dan teroris berangkat dari payung intoleransi baik di ruang lingkup keluarga, sekolah, dan lingkungan beragama. Toleransi sendiri berarti adanya sikap untuk menerima perasaan, kebiasaan, pendapat atau kepercayaan yang tidak sama dengan apa yang kita yakini atau miliki.

Dalam buku Toleration and the Limit of Liberalism, Susan Mendus membagi toleransi menjadi dua, yaitu toleransi negatif (negative interpretation of tolerance) dan toleransi positif (positive interpretation of tolerance).

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan