Memetik Kesetaraan dalam Ibadah Haji

223 kali dibaca

Kesetaraan sebagai nilai yang diarusutamakan oleh manusia modern dan agenda emansipasi tampak jelas dalam praktik ibadah haji. Jemaah haji laki-laki dan perempuan memiliki kewajiban yang sama, yakni melaksanakan wukuf di Arafah dan Muzdalifah, mabit dan lempar jumrah di Mina, thawaf, sa’i, dan tahallul. Selain itu, menarik untuk menilik kesetaraan pada aspek-aspek lain yang ada dalam lingkup haji.

Mukti Ali Qusyairi
Mukti Ali Qusyairi

Nuansa Setara

Advertisements

Pada saat haji tahun ini 2024, saya melihat dan merasakan secara langsung nuansa kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang begitu kuat dan nyata di setiap aspeknya.

Pertama, dalam kepanitiaan haji hampir di setiap bidang atau tusi terdapat petugas laki-laki dan perempuan. Di tusi lansia, misalkan, saya menyaksikan langsung bukan hanya petugas laki-laki an sich, akan tetapi juga petugas perempuan menggendong atau mengangkat lansia yang tak sanggup berjalan dan tak ditemukan alat dorong.

Hanya, bedanya, petugas perempuan cuma menggendong lansia perempuan alias nenek-nenek dan tidak menggendong lanisa laki-laki alias kakek-kakek. Sedangkan, petugas laki-laki menggendong lansia laki-laki dan lansia perempuan.

Sebagaimana sahabat saya satu tim Sektor 2 Madinah, Amin Hidayatullah dan Idham Khalid, menggendong lansia nenek-nenek dan lansia kakek-kakek. Bahkan yang digendeong Amin Hidayat tanpa pandang bulu, ada yang bertubuh kurus dan kecil dan ada yang bertubuh besar dan tinggi. Semua diangkut tanpa merasa berat.

Amin Hidayat merasa takjub sendiri, kok bisa menggendong lansia yang gede dan tinggi di Madinah. Padahal waktu di tanah air menggendong istri sendiri saja tidak kuat atau sempoyongan. Mungkin ini fadhilah (keutamaan) dari Allah dan syafaat Rasulullah.

Di bagian transportasi pun ada petugas laki-laki dan perempuan. Para petugas perempuan dan laki-laki mengatur lalu lintas dan menertibkan jamaah haji yang mau masuk ke bus-bus yang terparkir di terminal bus shalawat di samping Masjidil Haram Mekah. Tukang parkir dan kerja-kerja pengaturan lalu lintas bus-bus di terminal yang biasanya identik sebagai pekerjaan laki-laki, tak berlaku bagi petugas haji.

Sedangkan bidang-bidang yang lain, seperti bagian konsumsi, pembimbing ibadah, akomodasi, linjam (perlindungan jamaah) dari kalangan militer dan kepolisian, tim kesehatan dari para dokter, seksi khusus Masjid Nabawi, dan lainnya sudah tentu terdapat petugas laki-laki dan perempuan, lantaran termasuk kerja-kerja yang sudah biasa dikerjakan oleh laki-laki maupun perempuan.

Kedua, dari Arab Saudi sendiri, saya membandingkan ketika haji pada 2003 dan tahun ini 2024, telah terjadi transformasi yang cukup signifikan terkait kesetaraan laki-laki dan perempuan. Saat ini, 2024, keamanan Arab Saudi terdapat laki-laki dan perempuan, pelayan toko-toko baik toko sajadah dan prafum maupun stand-stand kartu dan pulsa handpond. Beberapa kali saya melihat perempuan nyetir mengendarai mobil melintas di depan Masjid Nabawi.

Perubahan ini tak bisa lepas dari pengaruh kebijakan yang diterapkan oleh MBS (Muhammad bin Salman) yang terkenal sebagai putra mahkota Arab Saudi yang getol mengarusutamakan pemahaman moderat dan progresif Islam dalam rangka menyongsong 2030.

Yang paling membuat haru ialah semua jemaah haji baik laki-laki maupun perempuan diberi kesempatan ziarah ke Raudhah, kuburan Rasulullah SAW. Raudhah adalah salah satu tempat mustajab (mudah dikabulkan doa-doa yang dipanjatkan).

Ada waktu-waktu tertentu untuk ziarah bagi jamaah haji laki-laki, dan ada waktu-waktu tertentu bagi jamaah haji perempuan. Pembagian waktunya saya lihat cukup adil dan sama, jika pagi hari sampai sore untuk perempuan, maka malam hari untuk laki-laki atau kadang berselang seling antara jemaah haji laki-laki dan perempuan.

Jemaah haji laki-laki yang ziarah berkomunikasi dan dikordinir oleh seksus Nabawi laki-laki, dan jemaah haji perempuan dikoordinir oleh seksus Nabawi perempuan.

Kebetulan saya sebagai konsultan ibadah dan sahabat saya, Muhammad dari Kalimantan, salah satu tugasnya ialah memohonkan tasrih ziarah Raudhah ke Daker Madinah, mengkomunikasikan kepada Seksus Nabawi serta kadang sampai mengantar jamaah haji yang akan ziarah ke Raudhah.

Ketika mengantar jemaah haji perempuan, seksus Nabawi sudah memegang tasrih yang kemudian diserahkan kepada pihak keamanan perempuan Raudhah. Berkomunikasi dan mengatur serta menertibkan jamaah perempuan berbaris secara seksama untuk antri. Ziarah Raudhah, kuburan Rasulullah, diberikan sekitar 15 sampai dengan 20 menit. Cukup untuk salat sunah dua rakaat, doa, dan bahkan baca surah Yasin secara tartil dan cepat.

Fasilitas ziarah Raudhah, kuburan Rasulullah dari pihak Madinah, Arab Saudi, ini menjadikan stigma bahwa Wahabi Arab Saudi mengharamkan ziarah kubur mendadak ambrol, rontok, dan tidak sekestrem yang diasumsikan.

Ketiga, shaf (barisan) salat jamaah yang berada di teras Masjid Nabawi di bawah payung-payung hidrolik nan cantik yang menempatkan barisan jamaah laki-laki di belakang jamaah perempuan. Baru saya sadari ketika ada salah seorang jemaah haji yang menanyakan hal ini ketika saya melakukan visitasi dan edukasi (Visduk). Menayakan apakah salatnya sah atau tidak? Saya jawab dengan tegas bahwa salatnya adalah sah. Sebab masalah shaf (barisan) salat jamaah tidak ada kaitan dengan sah atau tidaknya salat, sebab bukan menjadi salah satu syarat dan rukun shalat. Dan hal itu sudah barang tentu hasil ketetapan dari pendapat dan fatwa para ulama yang ada di Madinah dan Makkah yang dapat dipercaya dan dipegang keabsahannya.

Memang betul bahwa ketika kita memasuki pintu gerbang 328, misalkan, maka kita akan melihat shaf (barisan) jamaah laki-laki berada di belakang jemaah perempuan yang disela oleh jalan untuk lewat para jamaah untuk mencari tempat shalat yang masih kosong. Bagi nalar awam mungkin terasa janggal. Karena tak terbiasa melihat fenomena itu, dan pengetahuannya terbatas pada praktik jamaah shalat di kampung halamannya yang tak ada praktik seperti itu.

Menyikapi Kodrat

Ada perbedaan yang bersifat kodrati antara perempuan dan laki-laki. Perempuan mengeluarkan darah haid secara rutin setiap bulan, sedangkan laki-laki tidak. Perempuan yang sedang haid tentu saja secara syariat tidak diperkenankan untuk melaksanakan ibadah salat dan puasa. Lalu, bagaimana dengan ibadah haji, umrah, thawaf, sa’i, dan rukun-rukun haji yang lain manakala perempuan sedang mengalami haid?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki dalam kitab al-Hajju Fadhailun wa Ahkamun menjelaskan bahwa, pertama, adalah boleh dan sah perempuan yang menggunakan obat atau suntik untuk menghentikan darah haid/menstruasi agar bisa melaksanakan thawaf dengan sempurna, meski setelah thawaf selesai darahnya kembali mengalir.

Kedua, darah menstruasi perempuan terputus atau tak mengalir dalam satu waktu tanpa ada sebab obat atau suntik, sebab darah menstruasi tidak selalu mengalir setiap saat dan ada waktu-waktu di mana darah itu berhenti. Jika seorang perempuan melaksanakan thawaf pada waktu-waktu di mana darah menstruasi berhentik di masa haid, yang tentunya didahului dengan mandi besar, maka menurut salah satu dari dua pendapat Mazhab Syafii adalah sah thawafnya, meski setelah melaksanakan thawaf darahnya mengalir kembali.

Beberapa ulama yang berpendapat seperti itu ialah Syekh Imam Abu Hamid, Syekh Mahamiliy, Syekh Manshur al-Maqdisi, dan yang lainnya. Alasannya karena masa di mana darah haid itu sedang tidak keluar adalah suci.

Pendapat tersebut diperkuat oleh pendapat mazhab Imam Malik, yang menyatakan bahwa seorang perempuan boleh dan sah melaksanakan thawaf di masa jedah mampet atau tidak mengalirnya darah ketika hadi dengan terlebih dahulu mandi besar, meksi setelah thawaf darahnya kembali mengalir. Sebab masa di mana darah haid sedang tidak keluar adalah masa suci yang boleh digunakan untuk thawaf.

Tentu saja, untuk ikhtiyath (bersikap hati-hati), meski darah sedang tidak keluar, dianjurkan untuk menggunakan pembalut. Untuk mengantisipasi terjadinya hal yang tidak diinginkan, yaitu mengalirnya darah yang nantinya berpotensi menetes dan mengotori lantai Masjidil Haram khususnya lantari sekitar tempat thawaf.

Jadi, dengan mengikuti pendapat tersebut, maka haid itu tidaklah menjadi soal bagi perempuan dalam melaksanakan thawaf asalkan dilaksanakan di waktu darah berhenti. Dengan kata lain, tidak harus menunggu masa haid itu betul-betul tuntas dalam durasi umumnya masa haid selama satu minggu dan paling lama selama dua minggu.

Selain itu, sebagian besar atau mumumnya perempuan—bahkan juga laki-laki?—tidak betah jika mandi tidak menggunakan sabun. Sehingga banyak jemaah haji perempuan yang mempertanyakan bagaimana hukum seseorang yang sedang ihram mandi menggunakan sabun mengingat salah satu larangan ihram adalah menggunakan minyak wangi atau wesangian? Apakah sabun mandi termasuk ke dalam golongan wewangian yang dilarang ketika ihram?

Imam al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ ‘ala Syarhi al-Muhadzab dan Prof Dr Khalid Abdullah al-Mushlih dalam al-Nubdzat fi Ahkami al-Hajji wa al-‘Umrah menyatakan bahwa menggunakan sabun bagi jemaah haji ketika mandi tidaklah membatalkan haji dan diperbolehkan. Sebab, sabun bertujuan untuk membersihkan tubuh dari daki dan kotoran, bukan bertujuan untuk wewangian atau pengharum. Sabun berbeda dengan minyak wangi. Sehingga, selain sabun, berbagai hal yang mengandung aroma dan wangi seperti buah-buahan misalkan mangga yang fungsi awalnya bukan untuk wewangian adalah tidak membatalkan haji ketika jamaah haji memegangnya atau memakannya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan