Penulis yang baik berusaha mengungkapkan dan sangat jeli dalam menulis buku. Tidak asal comot sana sini. Apalagi, bahasan yang dikaji tidak sesuai realita dan fakta. Buku ini mengenalkan kita pada kurikulum yang ada di pesantren. Sebagai lulusan pesantren dan mengabdikan diri di pesantren, penulis buku ini sangat tahu betul bagaimana pesantren membangun dan menjalankan kurikulum pendidikannya.
Di bagain awal, penulis memaparkan pengertian, napak tilas, dan model pesantren yang ada di Nusantara. Sejarah menunjukkan bahwa peantren sampai saat ini masih menjadi pendidikan alternatif dalam kehidupan masyarakat indonesia. Walau dianggap sebagai lembaga konsevatif dan tradisional, peantren mampu menciptakan wahana baru bagi pembangunan peradaban muslim dan masyarakat secara umum (13).
Dan seiring berkembangnya zaman, pesantren tidak cukup mempertahankan tradisi lama, akan tetapi terus berbenah dalam segala hal untuk mempersiapkan santrinya dalam menghadapi segala kemungkinan. Buku ini berusaha dan berupaya mengkaji sistem pendidikan yang diterapkan di pesantren, dan tuntutan pembaharuan kurikulum dalam rangka memberikan kontribusi terhadap kemajuan umat Islam di seluruh dunia.
Dalam tradisi pesantren, kurikulum dimaknai sebagai berbagai jenis mata pelajaran yang diajarkan di pesantren. Materi yang diajarkan di bidang teknis berupa fikih, ilmu tafsir, mawaris, dan ilmu falak. Bidang hafalan pun juga ada, seperti Al-Quran, ilmu bahasa Arab. Sementara, ilmu yang membina emosi adalah materi tasawuf, akidah, dan akhlak.
Sampai saat ini, pesantren terus berada dalam kepungan globalisasi. Sekali lagi, agar pendidikan santri sebagai penghuni pesantren mampu mengimbangi arus globalisasi, agar tidak ketinggalan zaman, maka kurikulum harus dibenahi agar ketika santri sudah terjun ke masyarakat bisa menjawab dan tahan terhadap arus global yang ada.
Walaupun globalisasi bukan satu-satunya tantangan dalam dunia pesantren, namun globalisasi tetap diwaspadai sebagai bagian dari sindrum menakutkan nilai dan tradisi pesantren yang sudah berkembang sejak dahulu sampai sekarang. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi secara tidak langsung ialah bagian pengaruh globalisasi yang menawarkan kebebasan dan kemewahan dalam segala aspek kehidupan. Jika pesantren tidak memiliki tameng yang kuat dalam membendung dampak negatif globalisasi, bukan tidak mungkin kebudayaan populer akan meruntuhakn nilai-nilai dan tradisi pesantren (hal. 128).
Sejauh ini, dunia pesantren seakan mengepung dan mengekang para santri untuk belajar agama tanpa ada dorongan untuk belajar pendidikan umum. Padahal, kita tahu bahwa kebangkitan umat Islam tidak bertumpu pada pengembangan ilmu agama, namun juga disertai denga kemajuan ilmu pengetahuan umum yang merupakan pra-syarat dalam menciptakan peradaban manusia.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan tegnologi, disadari atau tidak, selalu memberikan dampak positif bagi proses kemandirian dan sikap budaya lokal kepesantrenan. Bahkan, tidak jarang kemauan tersebut kian menjadikan generasi santri kita mulai kehilangan semangat dalam mempertahankan nilai-nilai budaya pesantren yang sudah tertanam sejak dahulu kala. Lunturnya semangat ini boleh jadi disebabkan oleh romantisme budaya yang semakin berkembang akibat tergerus oleh implikasi globalisasi yang sarat dengan kebebasan.
Kurikulum dalam pendidikan Islam selalu terkait dengan materi pelajaran yang meniscayaan pemahaman tentang ilmu agama dan kaidah fikih para ulama terdahulu. Apalagi prinsip dalam pendidikan Islam tentang penyusunan kurikulum menghendaki keterkaitan dengan sumber pokok agama. Karakter kurikulum dalam pendidikan Islam tidak bisa lepas dari ilmu agama yang menitikberatkan pada aktivitas peribadatan (258).
Suyoto dalam bukunya menyebutkan bahwa metode pembelajaran dalam kurikulum pesantren sebenarnya berkaitan dengan layanan terbaik yang ingin diberika kepada santri. Belakagan ini, berbagai usaha inovatif yang ditempuh justru mengarah pada pelayanan individual terhadap anak didik. Metode sorogan justru mengutamakan kematangan dan perhatian serta kecakapan seseorang. Tidak heran bila Mastuhu menyebut metode ini individualis meski sebenarnya termasuk metode modern.
Meskipun kebanyakan pesantren telah memasukkan pelajaran pengetahuan umum, hal yang tidak kalah mendesak adalah pengembangan sumber daya manusia. Ialah sebuah pengembangan spesialisasi pesantren dengan disiplin ilmu pegetahuan yang bersifat praktis melalui jalur aplikasi teknologi.
Fenomena pesantren yang mengadopsi pengetahuan umum untuk diajarkan kepada para santri, sembari tetap mempertahankan pengajaran kitab klasik, merupakan upaya untuk meluruskan tujuan pendidikan agama tersebut, yaitu pendidikan ulama yang setia pada paham Islam tradisional. Dalam tradisi pesantren, orientasi kurikulum pesantren tidak sekadar berupaya mencetak santri memiliki intelektual yang tinggi, namun juga mampu mengintegrasikan ilmu, iman, dan ihsan sebagai landasan fundamental dalam memperkuat hakikat pendidikan Islam.
Kedudukan santri sebagai generasi muslim yang berpengetahuan luas diharapkan mampu mengemban amanah agama dan bangsa untuk terus menerus memberi sumbangsih dalam memajukan pemikiran dan ilmu pengetahuan. Dalam buku ini, penulis mengambil KH Abdul Wahid sebagai tokoh perubahan dalam kurikulum pendidikan di pesantren. Beliau punya andil dalam perbaikan kurikulum pesantren yang dinilai tidak relevan lagi denagan perkembangan zaman.
Contoh kecilnya adalah menyusun perencanaan yang matang. Sejauh ini, kirikulum di pesantren kurang tersusun dan tidak sepenuhnya matang. Harus diadakan langkah langkah yang jelas, menerangkan cara dan capaian. Revolusi yang dipelopori Kiai Wahid Hasyim secara tidak langsung telah mendorong pesantren-pesantren lain untuk melakukan perubahan dan perbaikan dari aspek kurikulum.
Sebagai sarjana perbandingan agama dan studi agama dan filsafat, tak heran jika dalam referensi dan tokoh terdiri dari tokoh filsafat, karena penulis dipengaruhi oleh pengalaman belajar dan fokus kajiannya. Oleh karenanya, penulis memadukan kajian filsafat dan kurikulum pesantren. Ini menjadi wadah dan kajian baru yang langka. Banyak orang yang mengkaji filsafat dan pesantren. Namun penulis memadukan keduanya sehingga buku ini menjadi angat menarik.
Sayangnya, penulis hanya mengambil satu lembaga pendidikan sebagai objek penelitian. Ini tidak cukup mewakili untuk membahas masalah kurikulum pesantren sampai ke akarnya, meski ditemukan penyebutan pesantren lain di beberapa halaman. Karena, masing-masing lembaga mempunyai ciri khas dan kurikulum yang berbeda dalam rangka mempersiapkan santrinya menghadapi tantangan era globalisasi.
Terlepas dari itu semua, penulis mengajukan banyak hal di dalamnya, dengan penyampaian menarik dan gaya bahasanya yang mudah dicerna. Buku ini mengajak pada pembaca tidak memandang modernisasi kurikulum pesantren secar parsial. Diperkuat dengan data dan hasil penelitian sejumlah pakar mengenai pesantren, sangat layak dibaca untuk mengetahui sebeluk-beluk pendidikan pesantren.
Data Buku
Buku : Modernisasi Kurikulum Pesantren (Konsep dan Metode Antroposentris)
Penulis : Mohmmad Takdir
Penerbit : IRCISod
Terbitan : Mei, 2018
ISBN : 978-602-7696-43-3