ATAS NAMA CINTA
Aroma tanah menyemerbak
Lepas jelaga pada langit yang pekat
Menunjuk derita memekik payah
Mencari ilham, “apalah arti Indonesia?”
Sejarah tercatat rupa legenda
Bahkan tergambar bagai dongeng belaka
Memuji yang harusnya dicaci
Membenci yang harusnya dicintai
Bukah Sjahrir, bukan Hatta, bukan pula Tan Malaka
Indonesia adalah segala
Angin senyap musim hujan, terik beringas musim kemarau
Sumpah pandawa serta kutukan, bising gemuruh gerak krakatau,
Bekas-bekas reruntuhan, hamparan pulau-pulau
Prasasti, arca, prambanan, tongkonan
Satu tungku tiga batu, semua bagi Indonesia
Maafkan kami
Menilai Indonesia adalah Islam, Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha saja
Maafkan kami
Menggaris Indonesia dalam Jawa, Batak, Sunda, dan Papua saja
Maafkan kami
Mengaku Indonesia adalah sekelompok kaum pribumi saja
Oh wahai
Teriakan cinta sangat jelas berdenyar
Pada ujung ruang angkasa
Pada sudut sauh terjatuh
Tanpa celah mengisi antara
Keringat bercucuran, darah berceceran, nyawa berterbangan
Merasuk, merusak tanpa gentar
Menghapus, menghempas, menindih, menjadi
Atas nama cinta
Dengan satu tujuan yang sama
Indonesia
IBU
Bagiku, nyanyian merdu adalah suara ibu
Laksana debur ombak di pantai teduh
Lembut membelai karang
Menelan habis duka dan derita
Di hati ada wangi kenangan,
Harum tersebar
Menjadi dupa
Bagi pertapa
Bagiku, mantra bertuah adalah ucapan ibu
Bebal; nakal; hasrat; ego; keinginan
Bagai Antasena yang amblas dalam perut bumi
Hilang tergilas, terbenam
Di sudut malam ada seberkas cahaya
Membuhul kegelapan
Ialah purnama
Jika kemudian, aku ditanya arti kehebatan
Serupa raungan
Nama ibu akan kuteriakkan
Tentang fana dan keabadian
Kutukan dan kedigdayaan
Sebab tanpamu, aku ini siapa?
Aku ini apa?
Ibu