Diskursus “filsafat Indonesia” memang masih dalam ruang antinomi. Saya agak tertarik dengan isu konstruksi keilmuan kategori filsafat Indonesia yang hingga saat ini menjadi wacana kontroversial di tengah lingkaran akademisi filsafat di Indonesia. Hal yang menarik dari diskusi filsafat itu adalah adanya usaha kembali merumuskan kategori keilmuan baru dalam dunia filsafat.
Ide yang membawa pada ruang polemik itu sebenarnya sederhana: adanya usaha untuk mengkualifikasi filsafat dengan wajah kelokalan. Ide itu muncul dari Banin D. Sukmono dalam sebuah literatur dengan tajuk “Membangun Filsafat Indonesia” yang dimuat di antinomi.org (04/10/2021) dan tulisan Saras Dewi di Harian Kompas (02/10/2021) “Menjalin Filsafat Indonesia”.
Dalam ungkapan literalnya, Saras Dewi menyatakan, “Gagasan Filsafat Indonesia mengendap di dalam ekspresi-ekspresi berkesenian: tarian, kidung, pahatan, yang brilian dan tidak saja indah, tapi juga memiliki kemanjuran sosial”. Atau Banin yang dalam esainya mengungkapkan bahwa, “Dari pada mencari filsafat Indonesia, sudah saatnya kita membangun filsafat Indonesia dengan cara berkontribusi di perdebatan filsafat kontemporer dan menyelesaikan masalah filsafat di dalamnya”.
Ungkapan di atas menjukkan adanya tendensi dan semangat pemikiran kontemporer dari dua akademisi tersebut yang muncul akibat adanya renungan eksploratif secara mendalam terhadap kebudayaan di masa lalu. Tampaknya secara implisit ada usaha “pemberontakan” untuk melepaskan esensialis keilmuan dari ikatan kontinental “hegemoni barat” yang secara eksis menjadi kiblat peradaban keilmuan hingga saat ini. Sehingga ada imperatif etik yang menggerakkan naluri berpikir untuk menemukan rumusan nilai filosofis yang termaktub dalam kebudayaan masyarakat di masa lalu.
Di sini saya tidak akan ikut campur memberikan komentar dalam polemik yang berlangsung panas di antara akademisi filsafat. Saya hanya berusaha menghadirkan sebuah dilema keilmuan ketika berada dalam diferensiasi ruang geografis. Suatu disiplin ilmu pasti memiliki sanad geografis sebagai haluan orientasi keilmuan itu sendiri. Namun, ketika bergerak pada pembahasan yang lebih lanjut di mana keilmuan itu menemukan ruangnya, “idealis-realis” polemik akan selalu hadir di sana. Persilangan pendapat akan muncul: apakah mempurifikasi teori secara mutlak tanpa tawar-menawar atau mereinterpretasi dalam ruang yang lebih terbuka dan dinamis melalui komparasi keilmuan dengan ciri khasnya masing-masing.