Isu feodalisme dalam pesantren kembali naik di ruang publik, tapi pembahasannya sering repetitif dan kurang menyentuh akar masalah yang jarang dibahas oleh media populer. Sebagian tulisan hanya menyoroti relasi kuasa antara kiai dan santri, tanpa mengupas bagaimana struktur pesantren modern justru bergerak menuju pengurangan ketergantungan hierarkis. Padahal, beberapa penelitian terbaru menunjukkan arah berbeda: relasi yang tampak hierarkis tidak selalu berarti feodal, dan dalam banyak kasus justru membentuk social trust yang adaptif.
Penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM UIN Jakarta, 2021), misalnya, menunjukkan bahwa otoritas kiai dalam pesantren salaf dan modern lebih berfungsi sebagai moral leadership, bukan dominasi ekonomi atau politik. “Kiai memimpin karena kredibilitas keilmuan dan akhlak, bukan karena kontrol struktural atas distribusi sumber daya,” tulis laporan itu (PPIM, 2021). Temuan ini cukup kontras dengan narasi populer yang memotret pesantren sebagai ruang yang tidak demokratis.

Masalah yang belum banyak disentuh adalah: bagaimana sistem pesantren hari ini membangun mekanisme anti-feodalisme melalui transparansi, kolegialitas, dan penguatan literasi digital.
Banyak pesantren besar, seperti Pesantren Tebuireng, Darussalam Gontor, dan Sidogiri telah mengembangkan pola kepemimpinan berbasis tata kelola kolektif (collective governance). Hal ini sering luput dari perbincangan publik, padahal secara empiris mampu mematahkan tuduhan feodalisme.
Kesalahpahaman Hierarki
Banyak orang menyamakan hierarki dengan feodalisme. Padahal, hubungan kiai-santri memiliki basis keilmuan, bukan kepemilikan. Feodalisme mensyaratkan penguasaan tanah dan tenaga, sementara pesantren bergerak pada relasi keilmuan dan pengabdian yang bersifat kontraktual-kultural.
Penelitian Zamakhsyari Dhofier dalam Tradisi Pesantren (2011) menegaskan bahwa otoritas kiai bukanlah kekuasaan absolut, melainkan karisma keilmuan. Dhofier menulis bahwa santri mengikuti kiai bukan karena paksaan, tapi kepercayaan yang tumbuh dalam proses belajar-mengajar yang panjang. Dengan kata lain, struktur pesantren terlalu cair untuk disebut feodal.
Hal ini diamini penelitian Nuruzzaman (UIN Sunan Ampel, 2020) yang menilai bahwa pesantren sejak awal tidak memenuhi karakter feodalisme karena tidak mengikat santri dalam relasi produksi. “Relasi sosial di pesantren adalah relasi belajar, bukan relasi ekonomi,” tulisnya (Nuruzzaman, 2020). Ini jadi poin penting untuk menolak klaim umum yang kurang berbasis data.
Modernisasi Tata Kelola Pesantren
Dalam dua dekade terakhir, banyak pesantren menggeser pola tunggal ke arah shared leadership. Hal ini tercermin dalam pembentukan badan pengasuh, majelis kiai, atau dewan pengelola yang menjalankan fungsi administratif secara kolektif. Model ini secara eksplisit membatasi dominasi individu dan membuka ruang musyawarah.
Pondok Gontor, misalnya, menata ulang sistem kepemimpinannya sejak 1958 dengan prinsip Trimurti. Sistem ini memastikan bahwa pesantren tidak diwariskan secara biologis, tetapi berdasarkan kompetensi. Sistem ini digambarkan oleh Bruinessen (2015) sebagai praktik antifeodal berbasis kaderisasi meritokratis.
Pesantren-pesantren di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU) lainnya mengikuti pola serupa: Sidogiri memperkuat koperasi dan badan usaha pesantren yang dikelola oleh tim profesional; Tebuireng membagi otoritas antara kiai, pengurus yayasan, dan biro akademik. Semua ini menunjukkan bahwa pesantren modern tidak lagi bertumpu pada satu figur, sehingga struktur feodal semakin tidak relevan.
Ruang Kritik Internal
Salah satu penyebab asumsi feodalisme adalah anggapan bahwa pesantren tertutup dan antikritik. Faktanya, banyak pesantren telah membuka kanal digital, buletin internal, dan program pelatihan literasi yang memungkinkan santri menyampaikan kritik dengan lebih aman dan terhubung.
Penelitian Rahmah (IAIN Tulungagung, 2022) mencatat adanya peran media internal pesantren dalam membentuk “santri kritis namun santun”—sebuah karakter yang memungkinkan kritik berjalan tanpa merusak struktur sosial. Dengan kanal digital, relasi kiai-santri berubah, dari relasi satu arah menjadi dialogis.
Selain itu, banyak santri memanfaatkan media sosial untuk mengolah ulang tradisi intelektual pesantren, menantang narasi feodalisme secara substansial. Ruang digital memperkuat kesadaran bahwa otoritas kiai bukan “kelas” yang tak tersentuh, melainkan keutamaan yang diuji publik setiap hari.
Hilangnya Unsur Feodal
Feodalisme mengandaikan ketergantungan ekonomi. Namun, justru pesantren masa kini makin mandiri melalui unit usaha: koperasi, BMT, kuliner, agribisnis, hingga digital printing. Kemandirian ini menurunkan risiko ketergantungan vertikal yang jadi ciri feodalisme.
Data Kemenag (2023) menunjukkan lebih dari 48% pesantren memiliki unit usaha yang dikelola santri dan alumni. Pola ini membentuk ekosistem kewirausahaan, bukan relasi patron-klien. Relasi kekuasaan menjadi horizontal karena para santri bernaung dalam struktur ekonomi yang mereka kelola sendiri.
Tuduhan feodalisme dalam pesantren sering muncul karena kesalahpahaman terhadap bentuk hierarki tradisional. Namun, bukti empiris dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa pesantren telah bergerak jauh melampaui struktur feodal: kepemimpinan kolektif, ekonomi mandiri, literasi digital, serta relasi keilmuan yang nonkoersif. Pesantren tidak berdiri di atas dominasi, tetapi kepercayaan, pengabdian, dan etos belajar. Dengan modernisasi tata kelola dan keterbukaan digital, tuduhan feodalisme menjadi semakin tidak relevan. Pesantren hari ini adalah ruang pendidikan yang dinamis, bukan sistem feodal yang membelenggu.
