Mengukuhkan Kembali Konsep Bernegara Melalui Teks-teks Agama

Konsep bernegara nampaknya hingga saat ini masih banyak dipersoalkan oleh beberapa pihak. Mereka menuntut adanya rekonstruksi konsep negara dengan memosisikan negara di bawah agama.

Mungkin saat ini, pasca dilarangnya organisasi-organisasi yang menuntut berdirinya negara Islam di Indonesia, kita jarang mendengar adanya gerakan yang berorientasi ke sana.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Namun, jika kita cukup jeli mendengarkan desas-desus dalam aktivitas dakwah beberapa oknum ustaz di Indonesia, gagasan tentang pendirian negara Islam di Indonesia nampaknya masih eksis. Setidaknya laten.

Oleh karena itu, pengukuhan terhadap pemahaman tentang konsep bernegara dalam perspektif Islam yang tepat nampaknya sangat diperlukan. Dalam tulisan singkat ini, penulis akan mencoba mengupas secara sederhana persoalan ini—meskipun pada hakikatnya persoalan ini sudah usang.

Relasi Agama dan Negara

Dalam kajian sosiologi agama, kita menemukan beberapa klasifikasi model negara dan relasinya dengan agama. Pertama, negara sekuler, yang misahkan negara dan agama secaraketat. Negara menempatkan agama di bawah kekuasaannya.

Kedua, negara teokrasi: Negara dan agama menyatu sepenuhnya, di mana pemimpin agama juga menjadi pemimpin negara.

Ketiga, negara kooperatif: Negara dan agama bermitra, saling mendukung, tetapi tetap memiliki batas kewenangan masing-masing.

Keempat, negara pluralis. Negara tidak resmi menganut agama tertentu, tetapi mengakomodasi keberagaman agama yang ada.

Kelima, begara antiagama. Negara menolak agama dan bahkan mengekangnya.

Dari kelima model tersebut, Indonesia adalah negara yang tidak menganut agama tertentu, namun mengakomodasi keberagaman agama (pluralis). Model negara semacam ini tidak lantas menyalahi syariat. Malah sebaliknya, mendapatkan legitimasi syariat.

Sebagaimana dijelaskan Imam Al-Ghazali, “Agama adalah fondasi, sedangkan negara adalah penjaganya.”

Dalam Islam, agama dan negara adalah dua elemen yang saling melengkapi satu sama lain. Ibarat dua sayap pada seekor burung yang menerbangkannya. Jika agama eksis tanpa penjaganya(negara), ia akan sia-sia. Begitu pun negara jika tanpa agama akan hancur.

Agama memberikan aturan kepada pemeluknya untuk menjalani kehidupan dengan menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi larangannya demi menyelamatkan dirinya dari siksa di akhirat. Sedangkan, negara menjamin kehidupan duniawinya, seperti menjamin kestabilan ekonomi dan keamanan, serta menyediakan layanan kesehatan dan pendidikan.

Sangat sulit —kalau tidak mustahil—menggambarkan perintah-perintah agama dapat dilaksanakan oleh para pemeluknya secara sempurna tanpa sebuah negara yang aman dan sejahtera. Kita ambil contoh negara-negara yang mayoritas pemeluk agama Islam namun rawan akan konflik, seperti Palestina dan Suriah. Meskipun sangat religius, mereka tidak bisa menjalankan perintah-perintah agama (ibadah) secara maksimal dikarenakan negaranya tidak dalam kondisi aman dan sejahtera.

Fakta yang terjadi di negara-negara Timur Tengah tersebut membuktikan kebenaran statemen Al-Ghazali di awal, bahwa,  “agama dan negara ibarat dua sayap burung yang tidak bisadipisahkan.”

Nasionalisme dalam Islam

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nasionalisme diartikan sebagai paham untuk mencintai bangsa dan negara sendiri. Jauh sebelum konsep “nasionalisme” ini lahir, Islam telah terlebih dahulu berbicara tentang cinta tanah air seperti dijelaskan dalam kitab Al-Bukhari, Kitab al-Hajj, Bab al-Qudum min al-Safar, Hadis no. 1886.

كان النبي ﷺ إذا قدم من سفر فنظر إلى جدرات المدينة أوضع راحلته وإن كان على دابة حركها من حبها.

Artinya: “Nabi SAW, apabila beliau datang dari perjalanan, lalu melihat dinding-dinding Madinah, beliau mempercepat untanya (kendaraannya). Dan jika di atas binatang tunggangan, beliau menggerakkannya (mempercepatnya) karena cintanya kepada Madinah.”

Menurut Al-Hafidz Ibn Hajar Al-Asqalani, hadis itu menunjukkan keutamaan kota Madinah dan disyariatkannya mencintai tanah air serta merindukannya. Sehingga, konsep “hubbul wathan minal iman” memiliki akar yang kuat dalam syariat Islam, bukan hasil ijtihad akal-akalan ulama kontemporer—sebagaimana dituduhkan oleh kaum tekstualisdan fundamentalis.

Tak Ada Agama Tanpa Perdamaian

Dalam kehidupan sosial yang plural, seperti di Indonesia, keberlangsungan menjalankan perintah-perintah agama hanya bisa tercapai jika ada perdamaian antarumat beragama. Perdamaian kolektif tidak akan pernah terwujud tanpa adanya aturan yang mengikat keragaman tersebut menjadi sebuah persatuan yang homogen. Aturan itulah yang kini dikenal dengan konstitusi negara.

Sehingga, konklusi dari penalaran deduktif di atas adalah: baik dan buruknya indeks agama pada suatu wilayah, tergantung pada kestabilan ekonomi, politik, dan negara secara umum.

Dalam surat Al-Baqarah ayat 126, Allah SWT berfirman:

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ قَالَ وَمَنْ كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلًا ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَىٰ عَذَابِ النَّارِ ۖ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ

Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa, ‘Ya Tuhanku, jadikanlah (negeri Makkah) ini negeri yang aman dan berilah rezeki berupa buah-buahan kepada penduduknya, yaitu di antara mereka yang berman kepada Allah dan hari kemudian.’ Dia (Allah) berfirman, “Dan kepada orang yang kafir akan Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa dia (masuk) ke dalam azab neraka dan itulah seburuk-buruknya tempat kembali.”

Menurut penafsiran Al-Imam Fakhruddin Ar-Razi, ayat di atas menunjukkan bahwa kedamaian merupakan kenikmatan yang paling besar. Karena kenikmatan akhirat maupun dunia tidak akan tercapai kecuali dengan terwujudnya kedamaian.

Dengan demikian, terbukti bahwa Islam tidak hanya menempatkan pentingnya hubungan vertikal dengan Tuhan, tetapi juga hubungan horizontal dengan manusia dan alam. Kestabilan negara, keamanan, dan kesejahteraan adalah prasyarat fundamental bagi umat untuk menjalankan ibadahnya secara sempurna. Oleh karena itu, bagi umat Islam, mencintai negara dan menjaga kedamaian adalah bagian dari ketaatan kepada ajaran agama itu sendiri.

Daftar Pustaka

Al-Bukhari. Al-Jami’ al-Shahih. Kitab al-Hajj, Bab al-Qudummin al-Safar, Hadis No. 1886.

Al-Ghazali. Al-Iqtisad fi al-I‘tiqad. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2019.

Al-Hafidz Ibn Hajar al-‘Asqalani. Fath al-Bari Syarh Shahihal-Bukhari. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, 1379 H.

Ar-Razi, Fakhruddin. Mafatih al-Ghaib (Tafsir ar-Razi). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2015.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta: BalaiPustaka, 2016.

Madjid, Nurcholish. Islam, Doktrin dan Peradaban: SebuahTelaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan. Jakarta: Paramadina, 1992.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan