Di banyak desa, bumi sedang berbisik pelan. Sungai menjadi keruh, musim tak lagi menentu, dan tanah perlahan kehilangan daya. Bisik itu sesungguhnya panggilan spiritual: apakah ilmu dan iman masih berjalan beriringan, atau sudah saling meninggalkan?
Ekoteologi hadir untuk menjembatani keduanya. Ia menegaskan bahwa merawat lingkungan bukan sekadar tanggung jawab sosial, tetapi bagian dari ibadah. Karena itu, setiap santri, kiai, dan warga desa sejatinya memegang peran penting dalam menjaga keseimbangan antara iman dan bumi.

Gairah itu kini mulai tumbuh. Universitas Islam Negeri (UIN) KH Ahmad Shidiq (KHAS) Jember baru-baru ini menyelenggarakan Bootcamp Ekoteologi yang menggabungkan kajian agama dengan isu lingkungan melalui pendekatan lintas disiplin: budaya, sosial, hukum, dan pendidikan. Program ini menjadi bukti bahwa ekoteologi bukan konsep teoretis, melainkan gerakan yang berakar dari kehidupan sehari-hari di desa.
Ekoteologi: Teologi, Tanah, dan Air
Dalam khazanah Islam, manusia disebut sebagai khalifah yang memegang amanah untuk menjaga keseimbangan ciptaan. Ajaran itu melarang berlebih-lebihan dan mendorong terciptanya keadilan bagi seluruh makhluk.
Di Indonesia, nilai-nilai tersebut telah dihidupkan dalam gerakan eco-pesantren yang menata kebersihan, energi, air, hingga pengelolaan sampah. Pedoman Eco-Pesantren yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup sejak 2008 menegaskan bahwa kepedulian terhadap alam bisa menjadi bagian dari tata kelola lembaga keagamaan.
Beberapa tahun terakhir, jejaring ulama, akademisi, dan aktivis memperluas semangat itu. Mereka menyelenggarakan pelatihan dai konservasi, merumuskan fiqh al-bi’ah, dan ikut dalam deklarasi Islam global tentang perubahan iklim. Semua ini menunjukkan bahwa etika lingkungan dalam Islam bukan pelengkap moral, melainkan kerangka praktis untuk menyelamatkan bumi.
Mengapa Mendesak?
Data lingkungan tidak bisa kita abaikan. Indonesia kehilangan sekitar 259 ribu hektare hutan alam pada tahun 2024. Angka ini melonjak dibanding tahun sebelumnya, dan berkontribusi besar terhadap emisi karbon dunia. Sebagian besar kehilangan tersebut justru terjadi secara “legal” akibat kebijakan pelepasan kawasan hutan untuk kepentingan ekonomi.