Buku yang diterjemahkan dari kitab Min Ma’arif al-Sadat al-Shufiyyah ini berisi tentang kisah para wali, yang tak lain mereka adalah pewaris dan pengikut sunah Nabi Saw. Mereka merupakan orang pilihan yang dibukakan hatinya oleh Allah untuk meneguk ilmu dan pemahaman yang tidak termaktub dalam kitab apa pun. Dengan ilmu, mereka mendapat kedudukan istimewa di sisi Allah.
Ilmu-ilmu itu kemudian mereka sampaikan kembali kepada khalayak orang agar mereka mengambil pelajaran. Salah satu misal yang dapat kita ambil dari ilmu mereka ialah tentang adab. Syeikh Muhammad Alwi al-Maliki pernah berkata, “Sesungguhnya iblis celaka bukan karena kurangnya ilmu, tetapi karena kurangnya adab” (hlm. 361).
Hanya gara-gara kurangnya adab, iblis yang sebelumnya dikenal sebagai sosok yang alim, tergolong jin yang sungguh-sungguh dalam beribadah hingga Allah meninggikan derajatnya di alam arwah dan memiliki kedudukan luhur di kalangan malaikat, tiba-tiba jatuh tersungkur, runtuh kesungguhan ibadahnya, dan yang lebih disesalkan lagi, ia diberi titel makhluk terkutuk.
Akhirnya, ia menjadi contoh hidup yang nyata bagi orang-orang yang tak beradab. Baik tak beradab kepada Allah, kepada Rasul-Nya, kepada para wali dan kekasih-Nya, kepada seluruh kaum muslimin, bahkan kepada seluruh makhluk. Oleh karena itu, kurang adab adalah sebuah kebodohan, pengingkaran dan kekufuran atas nikmat Allah.
Seorang sufi agung mengatakan, “Siapa saja yang tak beradab, maka tidak ada perjalanan tarekat baginya. Orang yang tidak memiliki perjalanan tarekat, maka ia tidak akan sampai kepada puncak tujuannya. Karena itu, adab mendekatkan jarak perjalanannya.”
Atas dasar itu pula, didikan para sufi dibangun di atas adab. Guru-guru tarekat pernah menyatakan, “Tasawuf itu seluruhnya akhlak. Siapa yang menambah akhlak kepadamu, maka ia telah menambah tasawuf kepadamu.”
Hal senada dikemukakan oleh Syeikh Abu Hafsh al-Naisaburi, “Tasawuf itu seluruhnya adab. Setiap waktu memiliki adab. Setiap akhlak memiliki adab. Dan setiap maqam juga memiliki adab. Siapa saja yang berpegang pada adab, maka ia akan sampai kepada tujuannya. Sebaliknya, siapa saja yang menghilangkan adab, maka ia semakin jauh dari tujuan, meski dirinya merasa semakin dekat. Ia akan ditolak meski ia mengira akan diterima” (hlm. 362).