Menyingkap Kabut Kebenaran dalam Dunia Digital

Di tengah derasnya arus informasi digital, opini publik tak lagi dibentuk fakta semata. Namun, oleh siapa pun yang cepat dan masif menyuarakannya. Terlebih, masyarakat modern kian mudah terprovokasi oleh emosi ketimbang fakta.

Akhir-akhir ini, istilah buzzer atau pendengung juga marak kita dengar. Hal ini berarti bahwa dunia digital telah membawa kita pada sebuah dilema: antara kebenaran objektif dan keyakinan pribadi.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Tema krusial inilah yang kemudian diangkat secara tajam oleh Ahmad Rofiq dalam bukunya Post Truth dan Problem Moral di Era Digital. Ia mengkaji bagaimana ruang digital semakin memarginalkan kebenaran objektif, lalu menggantinya dengan narasi emosional yang membentuk apa yang disebut sebagai “kebenaran alternatif.” Dalam konteks ini, opini yang dibentuk oleh sentimen dan viralitas sering kali lebih dipercaya ketimbang fakta yang dapat diverifikasi.

Secara lugas, buku ini menggambarkan kepada kita tentang fenomena pasca kebenaran atau biasa dikenal dengan istilah post truth. Yakni, kondisi ketika masyarakat digital lebih rentan terkontaminasi dan terprovokasi oleh informasi yang diproduksi dengan tujuan komersial. Dalam artian, kebenaran menjadi semakin relatif dan objektivitas data sering kali terabaikan.

Rofiq kemudian menjelaskan bahwa post truth telah menjalar ke berbagai sektor dan wacana. Tidak hanya sosial-politik, namun juga ekonomi, agama, hingga sains.

Salah satu contoh menarik yang ia angkat adalah peristiwa pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2016. Dalam kasus ini, semakin sering media meliput Donald Trump—terlepas dari kebenaran atau kebohongan yang disampaikan—semakin besar pula panggung dan pengaruh yang ia dapatkan. Ini menciptakan paradoks: kebohongan yang terus-menerus disuarakan justru memperkuat posisi politiknya.

Tak berhenti di situ, Rofiq juga membahas mengenai problem moral digital yang muncul sebagai akibat dari era post truth. Mulai dari klaim moral, cyberbullying, fanatisme, hingga subversi digital. Problem ini muncul akibat tidak adanya objektivitas data. Apa yang menjadi kebenaran—meski direkayasa—menjadi pijakan dalam menghakimi orang lain dan melegitimasi sebuah penilaian subjektif.

Dari sini Rofiq lalu menghubungkan persoalan ini dengan moral error theory yang digagas oleh filsuf John L. Mackie. Dalam pandangan Mackie, moralitas sendiri tidaklah bersifat objektif, melainkan subjektif. Tidak ada nilai moral yang inheren atau objektif di luar kontruksi manusia. Hal ini disebabkan nilai-nilai moral merupakan kontruksi manusia yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti budaya, agama, dan kondisi sosial. Dengan demikian, pandangan moral akan selalu bervariasi antarindividu dan kelompok.

Dalam kaitannya dengan permasalahan di dunia digital, pemikiran Mackie sebagai filsuf yang terkenal dengan teori relativitas moral menjadi semakin kuat. Tidak ada standar etika yang jelas, khususnya dalam penggunaan media sosial. Di tengah lautan konten digital, klaim moralitas muncul sebagai salah satu subjek yang paling rentan terpapar oleh bias, opini pribadi, dan kepentingan kelompok.

Dengan tebal yang cukup ringkas, hanya 81 halaman, buku ini menyuguhkan pemikiran yang kritis, padat, dan relevan dengan tantangan zaman. Penyampaiannya yang sistematis dan berbasis pada contoh konkret menjadikannya mudah diikuti, meskipun pembaca mungkin perlu sedikit latar belakang dalam kajian media, filsafat moral, atau etika informasi untuk menangkap nuansa-nuansa argumen yang ditawarkan.

Meskipun menyuguhkan analisis yang tajam dan argumentatif, buku ini tidak lepas dari kekurangan. Salah satu hal yang cukup mengganggu adalah banyaknya kesalahan ketik yang tersebar di sejumlah halaman. Perlu ada penyuntingan ulang yang lebih teliti agar kualitas buku ini secara keseluruhan dapat lebih optimal dan layak dijadikan rujukan akademik maupun bacaan populer.

Alhasil, Post Truth dan Problem Moral di Era Digital adalah bacaan reflektif yang penting bagi siapa saja yang ingin tetap berpikir jernih di tengah kebisingan digital. Di era ketika batas antara fakta dan opini kian kabur, buku ini mengajak pembaca untuk lebih sadar akan pentingnya kejujuran, tanggung jawab moral, dan literasi media dalam membentuk masyarakat yang lebih waras berpikir. Wabillahi taufiq.

Data Buku:

Judul               : Post Truth dan Problem Moral di Era Digital
Penulis            : Ahmad Rofiq
Penerbit          : Keraton Publisher
Cetakan          : Pertama, April 2025
Tebal               : iv + 81 Halaman
ISBN               : 978-623-8121-23-6

Multi-Page

Tinggalkan Balasan