Menyoal Doktrin Hijrah dan Jihad (1)

37 views

Salah seorang kawan, sebut saja si Fulan, mengutarakan keinginannya untuk hijrah ke Suriah dan bergabung dengan sebuah komunitas yang menyebut dirinya sebagai Islamic State (IS). Ketika ditanya, apa yang membuatnya begitu berani memasuki wilayah konflik tersebut, dia hanya menjawab singkat, “Karena ingin mengamalkan hadis Rasulullah SAW.”

Dalam hadis riwayat Ahmad dan Abu Daud disebutkan bahwa Rasulullah SAW berkata, “Akan ada hijrah setelah hijrah. Orang-orang terbaik di muka bumi adalah mereka yang tinggal di tempat hijrah Nabi Ibrahim (Syam).”

Advertisements

Siapa yang tidak kenal dengan kelompok yang sering menamai dirinya Islamic State atau lebih populer dengan sebutan ISIS. Kita hanya butuh waktu tak lebih dari dua menit untuk mengenal kelompok ini. Mereka sangat aktif mempromosikan agenda dan kegiatannya di dunia maya, di samping juga di dunia nyata. Mulai dari mengunggah vidio indahnya di bawah naungan khilafah, hingga menjanjikan 72 bidadari di surga bagi pengikutnya.

Mereka memanfaatkan dan menyebarkan doktrinnya lewat YouTube, Twitter, Facebook, dan platform media sosial lainnya, yang digunakan sebagai wadah perekrutan mujahid baru. Tak sedikit penelitian yang menyatakan, beberapa orang dinyatakan hilang dan ikut bergabung bersama ISIS setelah mendengar khutbah dan ceramah tokoh-tokoh ISIS di media sosial.

Syahdan, hadis menjadi salah satu senjata andalan ISIS dan kaum jihadis sejenisnya untuk melakukan kaderisasi dan mencari mangsa baru. ISIS menggunakan hadis Nabi tentang hijrah ke Syam sebagai basis teologis, untuk mengajak umat Islam di seluruh penjuru dunia pindah domisili ke wilayah kekuasaannya.

Tidak sedikit orang yang terpengaruh propaganda mereka karena salah paham dan keliru memahami hadis Nabi. Meski, pada dasarnya hadis memang sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an, namun perlu diingat, memahami hadis tidak boleh sembarang dan mesti mengetahui ilmu musthalah hadits, takhrij hadits, ilmu sanad, kritik hadis, dan metode pemahaman hadis.

Mestinya, setiap informasi yang berkaitan dengan Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ataupun persetujuannya, diuji terlebih dahulu kebenaran dan keabsahan informasinya dengan menggunakan ilmu takhrij hadits dan kritik sanad serta matan hadis. Setelah diketahui kebenaran informasinya dan dapat dipastikan bahwa hadis itu memang benar dari Rasulullah, maka langkah selanjutya adalah memahaminya berdasarkan metode pemahaman hadis. Belum tentu hadis sahih mesti diamalkan, karena faktanya tidak semua hadis mengandung unsur syariat, di dalamnya juga terdapat unsur budaya, politik, dan gambaran realitas sosial masa Nabi.

Yang tak kalah pentingnya adalah, dalam meenyikapi fenomena dan kemunculan ISIS ini, ada baiknya kita bersikap kritis dan mempertanyakan ideologi Islam yang mereka anut. Lebih dari itu, kita juga perlu melihat, membaca, dan menganalisis mengapa kelompok seperti ini muncul? Apakah kemunculan ISIS murni karena faktor agama? Atau dipengaruhi oleh kepentingan politik sebagian kelompok, untuk merebut kekuasaan dengan mengatasnamakan agama?

Sebagian besar hadis yang digunakan ISIS adalah hadis-hadis yang berisi ramalan Nabi SAW tentang masa depan. Hadis semacam ini diistilahkan dengan “hadis futuristik”. Melalui hadis futuristik ini, ISIS ingin menunjukkan kepada semua orang, khususnya umat Islam, bahwa mereka adalah representasi dari kelompok akhir zaman yang sering disebut Nabi di dalam hadis. Mereka mengklaim dirinya sebagai kaum terasing (ghuraba) yang diprediksi Nabi SAW akan muncul pada akhir zaman, dan itulah kelompok terbaik.

Perlu diketahui, dalam pandangan ISIS, hijrah dan jihad adalah dua ajaran yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan antara satu sama lainnya. Jihad tidak mungkin terlaksana tanpa melakukan hijrah. Ideolog ISIS mengatakan, “Tiada hidup tanpa jihad dan tiada jihad tanpa hijrah.”

Untuk menarik perhatian, mencari simpatisan, dan mujahid baru, ISIS mewacanakan kewajiban jihad bagi setiap orang dan mereka sudah menyiapkan ladangnya bagi yang ingin berjihad. Saking tegasnya kewajiban jihad, menurut ISIS, orang yang tidak terlintas sedikitpun niat hijrah di dalam hatinya, mereka layak disebut munafik. Istilah munafik ini seringkali disematkan pada individu ataupun kelompok yang tidak mau mengikuti jalan dakwah ISIS.

Propaganda jihad yang disebarkan ISIS ini merujuk pada hadis riwayat Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW berkata:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَ ضِيَ اَللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( مَنْ مَاتَ وَلَمْ يَغْزُ, وَلَمْ يُحَدِّثْ نَفْسَهُ بِهِ, مَاتَ عَلَى شُعْبَةٍ مِنْ نِفَاقٍ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Artinya: Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa mati, sedang ia tidak pernah berjihad dan tidak mempunyai keinginan untuk jihad, ia mati dalam satu cabang kemunafikan.” (Muttafaq Alaihi).

Berdasarkan hadis ini, ISIS mengklaim orang-orang yang semasa hidupnya tidak pernah berjihad atau minimal berniat jihad, maka mereka mati dalam keadaan munafik. Mereka disamakan dengan orang munafik, karena tipikal munafik adalah selalu menghindar dari jihad. Penyamaan mereka dengan orang munafik ialah, karena siapa yang menyerupai suatu kaum berati ia bagian dari kaum tersebut. Orang yang memiliki sifat seperti kaum munafik berati dia bagian dari kaum munafik.

Secara umum, hadis tersebut dihukumi sahih oleh mayoritas ulama, apalagi diriwayatkan oleh Muslim Ibn Hajjaj, al-Baihaqi, dan ulama hadis senior lainnya. Kendati demikian, hadis riwayat Muslim ini tidak dapat dipahami secara tekstual dan literal. Supaya mendapatkan pemahaman yang utuh terhadap hadis ini, perlu dilakukan penelusuran terhadap latar belakang atau konteks sabda Nabi itu. Sebab, tidak semua hadis sahih berlaku umum, dapat diterapkan pada semua kondisi, dan harus diamalkan oleh setiap orang.

Ibn Mubarak, misalnya, berkata, hadis yang bersumber dari Abu Hurairah ini tidak berlaku umum dan hanya boleh diterapkan pada situasi perang. Memahaminya secara mentah-mentah, tanpa kritis, dan mengamalkannya pada situasi damai, adalah sebuah kekeliruan. Pada masa perang, jihad identik dengan kualitas keimanan seseorang. Sehingga sangat wajar bila orang yang tidak mau berjihad, atau tidak terlintas dalam hatinya sedikitpun niat jihad, dikategorikan sebagai orang munafik.

Kalau kita telisik dalam literatur fikih, jihad tidak selalu identik dengan perang. Makna jihad sebenarnya lebih luas dan tidak sesempit dan sereduktif pemahaman ISIS. Perang hanyalah salah satu bagian terkecil dari jihad, dan hanya boleh digunakan pada kondisi darurat dan untuk membela diri. Bahkan sebagian mengatakan bahwa perang hanyalah sebatas instrumen jihad (wasilah), bukan tujuan jihad (ghayah). Jihad adalah bersungguh-sungguh dalam menyiarkan agama Islam, mengajarkan ilmu syariat, melindungi warga sipil, menebar kebaikan dan perdamaian.

Syaikh Zainuddin al-Malibari dalam kitab Fath al-Mu’in menjelaskan bahwa jihad tidak mesti dengan angkat senjata atau berperang. Mengajarkan ilmu agama dan menyelesaikan permasalahan masyarakat juga termasuk bagian dari jihad. Bahkan, dalam pandangan sebagian para ulama, ikut serta dalam penyejahteraan masyarakat, seperti membantu pembayaran gaji dokter, harga obat, dan membayar gaji pegawai yang belum dibayar gajinya, juga dapat dikategorikan jihad.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan