Setiap tanggal 10 November, kita semua merayakan Hari Pahlawan Nasioal, mengenang pengorbanan pejuang yang rela mati demi tegaknya kedaulatan bangsa. Namun, di tengah khidmatnya peringatan ini, muncul hal ironis yang terasa seperti lelucon pahit bagi amanat Reformasi: pengangkatan Presiden ke-2 RI, Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional.
Atas dasar itu, 10 November akan menjadi hari pahlawan baru—bukan bagi mereka yang mengabdi, melainkan bagi simbol kekuasaan yang paling banyak menyalahgunakan kekuasaan. Kontradiksi ini berakar pada catatan gelap sejarah yang tidak bisa diabaikan dengan dalih “jasa pembangunan”.

Rekor Kelamaan
Tidak ada data yang lebih telak untuk menilai Soeharto selain rekam jejaknya dalam hal korupsi. Pada tahun 2004, lembaga pengawas korupsi global, Transparency International (TI), menempatkan Soeharto di puncak daftar pemimpin dunia dengan dugaan penyelewengan dana publik terbesar sepanjang masa.
TI memperkirakan bahwa total dana yang diselewengkan oleh Soeharto selama 32 tahun masa pemerintahannya mencapai antara US$ 15 miliar hingga US$ 35 miliar (atau setara ratusan triliun rupiah). Angka ini, yang dicapai melalui praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang terstruktur, menempatkan Soeharto melampaui figur korup global lain seperti Ferdinand Marcos dan Mobutu Sese Seko.
Angka fantastis ini bukan hanya sekadar nominal, melainkan representasi dari dua hal. Pertama, penggunaan yayasan-yayasan (seperti Yayasan Supersemar) sebagai alat untuk mengumpulkan pungutan wajib dari perusahaan negara dan swasta, yang dananya dialihkan untuk kepentingan pribadi dan bisnis keluarga.
