Euforia pemilihan umum serentak yang akan digelar pada tahun 2024 sudah mulai terasa beberapa bulan terakhir. Para elite politik mulai sibuk mencari dukungan dan kampanye sebagai langkah awal untuk memenangkan kontestasi lima tahunan itu. Sudah marak kita temui wajah-wajah politisi bertebaran pada baliho di sepanjang jalan. Deklarasi dukungan terhadap beberapa tokoh juga sudah gencar dilaksanakan di berbagai daerah.
Akan tetapi, di balik hirup-pikuk euforia tersebut, kita masih mempunyai pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Yaitu, polarisasi masyarakat yang disebabkan oleh pemilihan umum sebelumnya. Masyarakat terpecah belah karena perbedaan sikap politik, saling mencaci, dan menghakimi bilamana tidak sepaham.
Polarisasi masyarakat yang terus berkepanjangan menjadi sebuah momok permasalahan terhadap kesatuan dan kestabilan sebuah negara. Salah satu faktor utama penyebabnya adalah praktik politisasi politik identitas.
Secara definisi, politik identitas adalah pemanfaatan manusia atau suatu kelompok secara politis dan terstruktur untuk tercapainya kepentingan atas dasar persamaan identitas yang mencakup ras, etnis, gender, agama, atau kelompok tertentu.
Politik identitas dapat berkonotasi positif bilamana menghasilkan suatu gerakan sosial yang lahir atas dasar perlawanan terhadap diskriminasi suatu kelompok. Dan, sebaliknya, dapat bernilai negatif bilamana cenderung destruktif terhadap persatuan dan digunakan untuk tujuan kepentingan kekuasaan belaka.
Sampai saat ini, istilah politik identitas masih belum jelas kapan dan siapa yang pertama kali mengemukakan. Tetapi secara substantif, politik identitas dapat dikaitkan dengan kepentingan sebuah kelompok sosial yang merasa terdiskriminasi oleh dominasi kekuatan yang cukup kuat dalam sebuah bangsa atau negara. Pada titik inilah gagasan tentang keadilan sosial menjadi sangat relevan.
Contohnya adalah gerakan sosial di Amerika Serikat. Politik identitas dapat terlihat pada gerakan dan kesadaran untuk melawan diskriminasi yang dirasakan oleh beberapa golongan seperti masyarakat kulit hitam dan berbagai etnis yang terpinggirkan. Mereka melawan diskriminai atas dasar persamaan identitas.
Di Indonesia sendiri, politik identitas sudah sering terjadi sejak deklarasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945, bahkan bisa jadi jauh sebelum itu. Politik identittas di Indonesia cenderung menyinggung hal-hal yang berkaitan dengan etnis, agama, dan ideologi. Hal ini didasari dengan keberagaman Indonesia yang terdiri dari berbagai etnis, agama, dan ideologi politik.
Data BPS tahun 2010 menyebut bahwa Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok etnis atau suku bangsa, lebih tepatnya terdapat 1.340 suku bangsa. Indonesia juga memiliki 6 agama resmi dan berbagai kepercayaan adat di berbagai daerah. Keberagaman tersebut menjadi faktor utama terjadinya politik identitas baik yang bersifat membangun maupun destruktif.
Politik identitas juga turut serta dalam mewarnai perjalanan Bangsa Indonesia ini. Tercatat berbagai gerakan kelompok sosial yang lahir atas dasar kegelisahan masyarakat terhadap pemerataan pembangunan yang hanya terpusat di Jawa. Contohnya, seperti GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan GPM (Gerakan Papua Merdeka). GAM dan GPM adalah contoh dari gerakan sosial yang bersifat politik identitas atas dasar persamaan etnis dan daerah.
Selain itu, terdapat pula gerakan yang menggunakan agama sebagai identitas kelompok mereka, seperti gerakan Darul Islam yang ingin mengubah Indonesia menjadi negara Islam. Pada akhirnya gerakan Darul Islam harus ditumpas karena cenderung destruktif terhadap persatuan dan kesatuan.
Gerakan semacam Darul Islam masih berlanjut hingga masa awal reformasi. Gerakan tersebut dimotori oleh beberapa organisasi masyarakat, seperti Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir Indonesia. Kedua ormas ini memiliki tujuan yang hampir sama, yaitu mengubah Indonesia menjadi negara Islam dengan menggunakan sistem kepemimpinan khilafah.
Dalam kurun waktu satu dekade terakhir, politik identitas dipolitisasi secara masif pada kegiatan pemilihan umum. Politik identitas menjadi bahan dalam kampanye untuk mencari dan menguatkan pemilih yang loyal dan berguna untuk mempengaruhi opini publik.
Kontestasi pemilihan presiden 2019 merupakan residu dari tajamnya politisasi politik identitas yang terjadi selama pemilihan presiden 2014 dan pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017. Dengan kata lain, ada semacam dinamika politisasi dan polarisasi yang terus dirawat.
Pada pemilihan presiden 2014, banyak elite politik yang menjadikan identitas suku, ras, dan agama sebagai komoditas kampanye. Kemudian berlanjut pada pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun 2017. Kontestasi ini sangat sarat akan politik identitas karena menggunakan identitas etnis dan agama untuk memobilisasi dukungan para pemilik suara. Lalu berlanjut pada pemilihan presiden tahun 2019. Kontestasi ini menggunakan narasi identitas agama sebagai bahan yang digencarkan oleh kedua tim pemenangan. Kedua pasangan calon juga didukung oleh kelompok agama yang berbeda orientasi dan semakin membuat suhu politik kian memanas. Berbagai narasi tentang identitas juga digunakan untuk saling menyerang antar-pendukung.
Akibat dari rangakaian politisasi identitas tersebut adalah terjadinya keretakan sosial dan polarisasi masyarakat yang masih kita rasakan hingga saat ini. Apalagi dengan kemajuan media sosial yang turut serta dalam mengantarkan konten-konten provokasi untuk saling mencela dan menghina ketika berbeda pandangan politik. Lalu, apakah kita akan tetap melanjutkan dinamika tersebut pada pemilihan umum selanjutnya?
Jawaban dari pertanyaan tersebut akan kembali kepada hati nurani kita masing-masing. Akan tetapi, saya teringat dengan kutipan dari buku Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita karya Buya Syafii Maarif, yang menjelaskan bahwa “Politik identitas dalam bentuk apa pun tidak akan membahayakan keutuhan bangsa dan negara ini di masa depan, selama cita-cita para pendiri bangsa tentang persatuan dan integrasi nasional, semangat Sumpah Pemuda yang telah melebur sentimen kesukuan, dan Pancasila sebagai dasar filosofi negara tidak dibiarkan tergantung di awang-awang, tetapi dihayati dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.”
Dari kutipan tersebut, kita masih tetap optimis bahwa politisasi politik identitas tidak akan membahayakan keutuhan bangsa ini asalkan kita bisa melaksanakan cita-cita para pendiri bangsa tentang persatuan dan integrasi nasional dengan penuh tanggung jawab. Dan implementasi dari cita cita itu adalah merawat keberagaman dan kemajemukan yang ada di negara ini. Kebencian dan kesalahpahaman terjadi karena kita tidak bisa tahu dan mengerti satu sama lain.
One Reply to “Merawat Keberagaman, Melawan Politisasi Identitas”