Tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dibela mati-matian.
— Gus Dur
Hari ini, saya tiba-tiba teringat masa-masa Gus Dur dijatuhkan dari kursi kepresidenan. Bukan jatuhnya Gus Dur yang saya ingat, melainkan bagaimana ia melakukan berbagai cara agar ratusan ribu pasukan berani mati yang mendukungnya tidak meluruk ke Jakarta. Ia tidak ingin ada pengerahan massa. Semua risiko akan dipikulnya sendiri.
Seperti kita tahu, KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, akhirnya jatuh dan harus keluar dari Istana Kepresidenan pada 23 Juli 2001. Itu terjadi setelah Majelis Permusyaratan Rakyat yang dipimpin Amien Rais mencabut mandat yang diberikan kepada Gus Dur 20 bulan sebelumnya, 20 Oktober 1999.
Kita tahu, suhu politik yang mengantar jatuhnya Gus Dur begitu mendidih. Begitu banyak permainan politik yang memojokkan Gus Dur hingga tak ada pilihan lain selain lengser. Sebagai tokoh pluralis yang populis dan mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), tentu Gus Dur memiliki basis massa pendukung yang melimpah. Jutaan warga nahdliyin marah, massa pendukung Gus Dur bereaksi dan bertekad melakukan perlawanan. Bahkan di berbagai daerah telah terbentuk pasukan berani mati, jumlahnya mencapai ratusan ribu orang, yang siap menyerbu Jakarta untuk mempertahankan Gus Dur “sampai titik darah penghabisan”.
Lalu apa yang terjadi? Rupanya Gus Dur tak memposisikan diri sebagai politisi, melainkan negarawan. Jika memposisikan diri sebagai politisi, Gus Dur akan mengapitalisasi seluruh dukungan massa tersebut, bahkan akan memperluas basis dukungan massa, untuk dikerahkan guna mempertahankan jabatannya sebagai presiden.
Namun, kita tahu, yang dilakukan Gus Dur justru sebaliknya. Gus Dur mengambil jalan negarawan. Seperti terungkap dalam buku karya Greg Barton berjudul Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (2008: 463), Gus Dur berkeliling ke berbagai daerah, mengunjungi para kiai dan santri, untuk meredakan kemarahan dan emosi pendukungnya agar tak terjadi pengerahan massa.
Bukan perkara gampang. Gus Dur pun harus berdebat sengit dengan para pendukungnya yang sudah diamuk emosi. Namun, setelah melalui perdebatan panjang dan melelahkan, Gus Dur akhirnya mampu meyakinkan para pendukungnya. Sesuai permintaan Gus Dur, massa pasukan berani itu akhirnya pulang ke rumah masing-masing dan berdoa yang terbaik untuk bangsa Indonesia.