… Pendek, ulet, dan berkulit sawo matang. Tumbuh bulu tipis di bagian bibir atas, bulu hitam lembut di bagian lengan bawah dan kaki. Otot lengannya pejal dan betisnya padat.
…
Ia memakai terusan linen tipis dan sudah robek sana sini karena tersangkut bebatuan dan semak berduri. Tambalannya pun sudah koyak dan bolong-bolong… Terusan usang itu menyembunyikan perutnya yang sudah kelihatan bundar. Ia belum menikah, namun ia hamil.
Begitulah Lesley Hazleton menggambarkan “sosok historis” Maryam, ibunda Yesus Kristus, dalam buku Panggil Aku Maryam: Sebuah Biografi Kritis Bunda Maria. Sebagai perempuan Nazareth penggembala-tani, semua orang memanggilnya “Maryam”, sampai empat abad kemudian, ketika Gereja Katolik Universal sudah mapan dan berbasis di Roma, perempuan ini memperoleh nama baru: Maria —dan dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Mary.
Seiring dengan perubahan namanya, “kedudukan” Maryam bergeser dari “sosok historis” menjadi “sosok teologis”. Maka ia berubah menjadi perempuan berkulit putih ramping semampai, mengenakan perhiasan perak dan mutiara, dimahkotai tiara emas, dan dinaungi para malaikat. Seperti dewi-dewi penguasa jagat dalam legenda kuno: Dewi Isis.
Siapa sesungguhnya Maryam atau Maria atau Mary ini?
Lesley Hazleton, wartawan-penulis kelahiran Inggris ini, dengan tekun melakukan riset sejarah untuk mengungkap siapa Maryam sebenarnya, senyatanya, sebagai perempuan yang berdarah dan berdaging, bukan sosok yang “dikonstruksi” sesuai dengan pikiran dan imajinasi banyak orang berabad-abad kemudian. Atau yang dikenal oleh masyarakat dunia dua ribu tahun kemudian.
Untuk ini, Lesley Hazleton tinggal di Yerusalem selama 13 tahun. Bertahun-tahun ia menyusuri perbukitan Galilea, daerah yang dulu, dua ribu tahun lalu, menjadi tempat tinggal Maryam. Ia juga menguasai bahasa Ibrani, Arab, dan Aramaik. Baginya, itu modal bagus untuk melakukan riset sejarah hidup Maryam. Tapi, yang lebih penting lagi, pengalaman tinggal selama bertahun-tahun di Yerusalem, Nazareth, atau Palestina memberi Lesley Hazleton pemahaman mendalam tentang subjek yang ditelitinya.
Buku Panggil Aku Maryam, atau Maryam Histories —A Mary: A Flesh and Blood Biografy of The Virgin Mother dalam versi Inggris, inilah hasilnya. Buku terbitan IRCiSoD (2020) setebal 372 halaman ini terdiri dari 11 bab yang terbagi dalam tiga bagian. Bagian pertama diberi judul “Dunia Maryam”. Bagian ini menjelaskan latar belakang sosial, politik, dan keagamaan Nazareth saat Maryam tumbuh menjadi perempuan penggembala-tani. Latar belakang itulah yang membentuk pribadi Maryam. Selain sebagai perempuan penggembala-tani, Maryam adalah juga seorang bidan, seorang penyembuh, yang dipelajari dari neneknya.
Pusat perhatian buku ini ada di bagian kedua yang berdujul “Rahim Maryam”. Sesuai judulnya, bagian ini berusaha mengungkap perihal yang paling sensitif sekaligus sensasional: kehamilan Maryam. Berdasarkan hasil risetnya, Lesley Hazleton mengungkap berbagai kemungkinan yang menyebabkan Maryam “hamil di luar nikah” dengan segala argumennya.
Kemungkinan pertama, tentu saja, Maryam hamil karena “dikehendaki” Tuhan dengan cara meniupkan ruh Tuhan. Dengan begitu, meskipun hamil, Maryam tetap perawan. Versi ini juga diceritakan dalam al-Quran.
Kemungkinan kedua, Maryam hamil oleh pasangannya atau suaminya. Buku ini menyebut nama Yusuf sebagai “pelindung” Maryam. Apakah dengan demikian Yusuf menjadi ayah biologis Yesus atau bukan, itu soal lain.
Kemungkinan ketiga, Maryam hamil karena diperkosa oleh tentara Romawi. Di zaman itu, pemerkosaan terhadap gadis-gadis Nazareth oleh tentara Romawi merupakan pemandangan sehari-hari. Karena itu, secara historis, Lesley Hazleton tidak menutup kemungkinan ini yang terjadi.
Tapi, tetap saja buku Lesley Hazleton ini tak pernah menyimpulkan kemungkinan mana yang terjadi sebenarnya. Ia hanya menegaskan bahwa, tersebab oleh kemungkinan yang mana pun, setiap kelahiran, termasuk kelahiran Yesus, selalu ilahiah, selalu ada campur tangan Tuhan. Jika pun yang terjadi adalah kemungkinan kedua atau ketiga, tersebab oleh perkosaan, misalnya, tak akan membuat kelahiran Yesus nista. Pada titik ini, Lesley Hazleton memberikan tantangan: beranikah kita memikirkannya begitu?
Bagian ketiga buku ini tak kalah menarik, dan justru memberikan perspektif baru dalam Kristianitas. Di bawah judul “Perempuan-perempuan Maryam”, buku ini mengungkap peran penting dan strategis para perempuan dalam penyebaran kebangkitan dan ajaran Yesus —al-Quran menyebutnya Isa.
Ketika Yesus disalib, hasil riset Lesley Hazleton menunjukkan bahwa para pengikut Yesus yang laki-laki ketakutan dan melarikan diri untuk bersembunyi. Yang tinggal menjadi saksi penyaliban dan kemudian menguburkan Yesus adalah para perempuan yang mengasihinya, terutama Maryam dan Maria Magdalena, yang disebut-sebut sebagai pelacur pengikut Yesus paling setia.
Di zaman itu, menguburkan mayat yang disalib sebagai hukuman dari penguasa Romawi nyaris sama dengan bunuh diri. Salah-salah akan disalib juga. Maka, perlu keberanian lebih bagi perempuan-perempuan itu untuk bisa menguburkannya. Entah dengan cara apa, dipimpin Maryam, para perempuan itu berhasil mengambil jasad Yesus kemudian mengurapinya dan menguburkannya di dalam gua batu dengan layak. Mereka jugalah, para perempuan itu, yang akhirnya menjadi saksi kebangkitan Yesus.
Di luar perdebatannya akan kebangkitan Yesus, Lesley Hazleton memberi perhatian khusus kenapa akhirnya Injil dan gereja justru menepikan peran suci Maryam dan para perempuannya dalam penyebaran ajaran Kristianitas, dikalahkan oleh para rasul yang justru muncul belakangan. Andai saat itu para perempuan ini tak berinisiatif merawat dan menguburkan jenazah Yesus, apa yang akan terjadi?
Itulah keinginan Lesley Hazleton melalui buku ini, menempatkan Maryam pada posisi yang sebenarnya, senyatanya, sebagai sosok historis.