Membaca Konflik di Tubuh PBNU

Warga Nahdliyin sedang diterpa keriuhan pasca terbitnya surat keputusan hasil Rapat Harian Syuriah yang meminta mundur Gus Yahya Cholil Staquf mundur dari jabatannya sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) akhir November 2025. Hasil keputusan rapat bertajuk “Risalah Rapat Harian Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama” itu mendadak membuat publik bertanya, apa yang sebenarnya terjadi di internal kepengurusan PBNU.

Tuntutan mundurnya Gus Yahya ini disebut sebagai buntut dari diundangnya akademisi pro-Israel, Peter Berkowitz, yang dikenal sebagai pembela kepentingan politik Israel. Mengundang penulis buku Israel and The Struggle Over The International Laws of War tersebut dinilai telah melanggar prinsip dasar organisasi.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Karena itulah, hasil rapat Syuriah memutuskan tuntutan pengambilan kewenangan sepenuhnya kepada Rais A’am dan dua Wakil Rais A’am. Karena kebijakan Ketua PBNU sebelumnya telah dipandang menyimpang dari nilai ideologi, etik, sekaligus normatif organisasi. Di sisi lain, dugaan pelanggaran hukum syara’ dalam tata kelola keuangan di lingkungan PBNU menjadi faktor penguat.

Tulisan ini akan berupaya mendeskripsikan sekurang-kurangnya; pertama, benarkah telah terjadi pelanggaran prinsip nilai Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja) sebagaimana alasan permintaan mundurnya ketua PBNU terpenuhi. Kedua, konflik kepentingan politik akan dijadikan faktor terbitnya keputusan preseden pemakzulan. Lantas sejauh mana faktor konflik politik tersebut mempengaruhi keputusan Syuriah, dan bagaimana dampaknya bagi NU.

Alasan Pemakzulan

Untuk memulai bahasan dalam sub ini, pertanyaan yang perlu dijawab adalah,  benarkah kepemimpinan Gus Yahya memenuhi syarat untuk disebut melanggar prinsip Aswaja dan Qonun asasi NU. Preseden pemakzulan tersebut, sekurang-kurangnya, telah melanggar aturan normatis-etis, di antaranya; penyimpangan etik atas nilai Ahlussunnah wal Jamaah an-Nahdliyah, Qanun Asasi NU, mencoreng-cemarkan nama baik organisasi, serta adanya indikasi penyimpangan tata kelola keuangan.

Pertama, nilai Aswaja yang konsisten dijadikan paradigma NU dinilai telah tercederai dalam kepemimpinan Gus Yahya. Laiknya organisasi keagamaan, NU memiliki prinsip nilai yang sejak awal pendiriannya dijadikan sebagai fondasi ideologis. Seperti, nilai tawassuth, tasamuh, tawazun, dan keadilan merupakan landasan Manhaj al-Fikr Aswaja. Juga, Qonun Asasi NU yang disusub Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari. Bahwa, kepengurusan Gus Yahya dinilai tak sejalan dengan nilai manhaj Aswaja tersebut.

Kedua, NU yang embrio kelahirannya didorong imperialisme di Indonesia, membuat NU harus berpihak pada kemaslahatan umat sekaligus menentang segala bentuk kezaliman, termasuk penjajahan dan penindasan. Inilah sebabnya, resolusi jihad dideklarasikan pada Oktober 1945. Sehingga, menjadikan akademisi yang terlibat mendukung zionisme Israel sebagai narasumber dalam kegiatan kaderisasi di NU bertentangan dengan fatwa resolusi jihad.

Ketiga, NU secara historis berkomitmen pada perjuangan kemanusiaan. Terjadi pada 1938, ketika NU mengeluarkan instruksi pada seluruh cabang supaya menggabung perayaan Isra’ Mi’raj, maulid Nabi, juga solidaritas perjuangan kemerdekaan rakyat Palestina. KH Mahfudz Siddiq, Ketua PBNU saat itu, pun mengeluarkan seruan, mengajak seluruh anggota NU, mengajak semua partai, ormas Islam, juga wartawan muslim untuk membantu rakyat Palestina dalam memperjuangkan agama dan kemerdekaan tanah airnya. Selain itu, terdapat anjuran pembacaan qunut nazilah dan edaran donasi iuran pada cabang NU untuk membantu Palestina. Semua ini seperti dicatat dalam karya KH Saifuddin Zuhri.

Keempat, NU menolak segala bentuk kerja sama dengan kekuatan global yang mendukung agresi dan kolonialisme. NU berkhidmat pada tolong menolong dalam hal kebaikan, menjauhi segala bentuk aliansi dalam perbuatan zalim, kejahatan, atau agresi terhadap bangsa lain. Sementara, kebijakan Gus Yahya dianggap tergolong pada yang kedua. Atas dasar itu, diundangnya Peter sebagai pembicara dalam acara yang tak lain ialah forum kaderisasi tertinggi di tubuh NU, melanggar prinsip ideologis.

Di saat bersamaan, peristiwa tersebut dianggap telah mencoreng nama baik perkumpulan, sebagaimana bunyi ketentuan Pasal 8 huruf a Peraturan Perkumpulan NU Nomor13/2025. Argumen ini mempertegas fokus Syuriah pada aspek pelanggaran khittah NU, yakni komitmen atas prinsip Aswaja, independensi politik, serta keberpihakan terhadap kemanusiaan.

Faktor Kepentingan Politik

Pada sub ini, penulis akan menghadirkan aspek lain yang tak kalah substansial dalam membaca gerakan pemakzulan Gus Yahya di PBNU. Kemungkinan adanya konflik kepentingan politik akan coba penulis analisis. Di posisi ini, argumentasi pelanggaran normatif dijadikan satu aspek di balik preseden pemakzulan.

Pasca mencuatnya isu pemakzulan tersebut, terdapat beberapa media yang melansir bahwa ada oknum internal PBNU yang  mendorong pemakzulan tersebut. Diduga terdapat pemanfaatan Rais A’am oleh oknum internal pengurus PBNU untuk memuluskan visi pemakzulan. Narasi menyusul kemudian, bahwa hal tersebut tak sepenuhnya lahir dari proses deliberatif yang objektif.

Terdapat alasan yang digambarkan beberapa sumber dan pendapat. Terdapat kelompok dalam internal PBNU yang tak sejalan dengan visi kepemimpinan Gus Yahya. Hal ini pun menambah tumpukan ketegangan dalam distribusi kewenangan. Secara bersamaan, struktur Syuriyah dan Tanfidziyah saling berebut pengaruh, dan berakhir pada upaya pemakzulan. Bahkan, yang paling keras, tak ditemukannya kesepakatan (deadlock) ihwal eksekusi konsesi tambang di internal PBNU, seperti digambarkan beberapa media nasional.

Dinamika internal PBNU bukanlah gejolak sesaat, melainkan akumulasi dari kontestasi politik yang telah berlangsung sejak terpilihnya Guy Yahya. Pelbagai isu yang mencuat akhir-akhir ini, mulai dari tata kelola keuangan, konsesi tambang, hingga tudingan pelanggaran nilai–menurut pengamat politik Citra Institute hanya sebagai manifestasi permukaan dari konflik yang lebih mendasar. Artinya, persoalan ini bukan sekadar perbedaan pandangan normatif-etik, melainkan bagian dari kontestasi pengaruh, baik yang melibatkan aktor internal maupun dari luar PBNU.

Di sisi lain, fenomena pemakzulan ini berdampak pada polarisasi di tingkat wilayah dan daerah. Pada tingkatan pengurus wilayah misalnya, dukungan terhadap Gus Yahya tampak rapuh, khususnya di tiga provinsi utama–Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Jawa Timur, gejolak turbulensi lebih awal terjadi, pasca pemecatan KH Marzuki Mustamar sebagai Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur, dan pemakzulan yang terjadi semakin memperburuk.

Kendati demikian, pernyataan Gus Yahya saat menggelar rapat konsolidasi dengan PWNU se-Indonesia membantah polarisasi yang penulis sebut sebelumnya. Setelah memberikan penjelasan langsung kepada para pimpinan wilayah, Gus Yahya berkesimpulan bahwa seluruh PWNU tidak menginginkan dirinya mundur. “Mereka itu khawatir saya mundur, karena dulu mereka memilih saya, dan mereka akan kecewa kalau saya mundur,” ujarnya di Surabaya pada (22/11/2025).

Akhirnya, dualisme perebutan pengaruh dan saling klaim terjadi di internal PBNU. Kubu yang menginginkan terjadinya pemakzulan Ketua PBNU atau setidaknya mereka yang mendukung, memperluas hegemoninya dengan dalil pelanggaran normatif, etik, serta ideologis. Sementara, kubu Gus Yahya dengan barisan yang ia konsolidasi, berusaha mengembalikan wibawa dalam rangka mempertahankan posisinya. Sambil lalu menggelar simpati publik dan mendramatisasi bahwa ia hanyalah korban atas konflik internal yang sedang terjadi.

Lantas, siapa pihak yang benar, siapa yang bersalah, atau paling tidak siapa yang mendekati kebenaran dalam posisi ini. Wallahu A’lam, penulis menghindari untuk menilai. Tapi yang pasti, penulis menyakini bahwa tabayyun di tubuh PBNU merupakan jalan bijaksana yang perlu diambil guna menjaga risalah dan amanah NU yang ditinggalkan para Muassis. Tanggalkan dulu ego dan kepentingan demi mengutamakan maslahat yang lebih besar sebagaimana nilai dan ajaran Islam Ahlussunah wal Jamaah an- Nahdliyah.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan