Ma’had Tahfidh Al-Qur’an (MTA) Al-Amien Prenduan memiliki visi besar dalam mencetak santri-santri yang memiliki daya intelektual tinggi. Santri yang haus akan ilmu pengetahuan tanpa mengabaikan Al-Qur’an sebagai petunjuk dan inspirasi dalam mengembangkan khazanah keilmuan Islam.
MTA Al-Amien Prenduan merupakan pondok pesantren yang terletak di ujung pulau Madura, tepatnya di Dusun Dunglaok, Desa Pragaan Laok, Kecamatan Pragaan, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur.
Pondok ini berdiri pada 12 Rabiul Awal 1412 H atau 21 September 1991 M. Peresmiannya dilakukan oleh Kiai Tidjani Djauhari MA sebagai pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan. Saat itu, Kiai Tidjani Djauhari baru saja menyelesaikan pendidikan magisternya di Mekkah. Kiai Tidjani Djauhari merupakan kakak dari KH Idris Djauhari dan KH Makhtum Djauhari MA.
Bukan tanpa sebab, Kiai Tidjani Djauhari dan para pendiri Pondok Pesantren Al-Amien mendirikan MTA Al-Amien Prenduan. Mereka melakukan langkah konkret atas keresahan yang mereka alami tentang merosotnya khazanah keilmuan umat muslim.
Mereka sangat berharap, dengan adanya Pondok Pesantren Modern yang berbasis Al-Qur’an, akan mengembalikan kejayaan umat Islam sebagai pusat peradaban yang melahirkan banyak ilmuan dan saintis muslim, sebagaimana telah terjadi pada masa Dinasti Abbasiyah dahulu.
Meski mengusung program wajib menghafalkan Al-Qur’an, MTA al-Amien juga tidak mengabaikan ilmu-ilmu modern dalam jenjang pendidikan formalnya. Sebab, MTA Al-Amien Prenduan berdiri untuk memberikan contoh bahwa dikotomi antara ilmu agama dan umum adalah hal yang keliru. Justru, ilmuan-ilmuan hebat Islam ketika kecil telah menguasai, bahkan menghafalkan Al-Qur’an. Sehingga, Al-Qur’an yang mereka pahami menjadi wordview akan pentingnya ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang sains dan teknologi. Hal demikian disebabkan umat Islam sendiri tidak mengetahui bahwa kitabnya juga membahas tentang sains dan mengangkat derajat siapa saja yang berilmu.
Program menghafalkan Al-Qur’an di pondok ini dibagi menjadi dua, yaitu program 12 juz dan 30 juz atau takhassus, menyesuaikan kemampuan yang dimiliki santri. Para santri juga tidak sekadar menghafal saja. Mereka juga dituntut untuk paham dan mengerti apa yang mereka hafalkan. Maka, pelajaran dalam kelas formal juga mempelajari ilmu nahu dan saraf sebagai ilmu alat untuk dapat memahami teks Arab, seperti Al-Qur’an dan kitab-kitab klasik (gundul).