Musibah yang Diproduksi di Meja Rapat

Jika hanya membaca judulnya, mungkin Anda akan mengira tulisan ini berangkat dari kecurigaan yang begitu berlebihan. Namun di Indonesia, kecurigaan sering kali lebih akurat daripada laporan resmi. Banyak kebijakan yang memengaruhi hidup jutaan orang justru dirumuskan dalam ruang yang jauh dari pandangan publik—ruang yang tersembunyi, dingin, dan penuh map. Maka, tidak berlebihan jika kita bertanya: berapa banyak musibah sebenarnya “diproduksi” di meja rapat sebelum akhirnya muncul dalam bentuk bencana?

Banjir di Pulau Sumatra memberikan ilustrasi yang gamblang. Ketika air bah membawa balok-balok kayu yang terpotong rapi, ia seolah datang sebagai catatan kaki yang tersembunyi dari dokumen perizinan. Tidak perlu ahli hidrologi untuk menyimpulkan bahwa hutan tidak tumbang oleh hujan. Ia tumbang oleh keputusan. Oleh persetujuan. Oleh tandatangan. Bencana ini bukan sekadar fenomena alam, tetapi arsip kebijakan yang tiba-tiba dibuka secara paksa oleh alam itu sendiri.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Setiap peristiwa banjir selalu melahirkan ritual yang sama: pejabat tampil di televisi dengan wajah yang dirapikan sedemikian rupa, menyampaikan pernyataan yang seragam, seolah-olah mereka membaca dari naskah yang sama: “Ini musibah alam.”

Ungkapan itu terdengar sopan dan religius, tetapi pada saat yang sama merupakan upaya menempatkan diri sebagai pihak yang paling tidak bersalah. Dalam konstruksi birokrasi kita, “alam” adalah entitas yang paling aman untuk disalahkan—ia tidak bisa menggugat, mengeluarkan bantahan, atau menuntut klarifikasi.

Padahal, dalam tradisi fikih lingkungan, manusia dipandang sebagai khalifah yang bertanggung jawab menjaga keseimbangan Bumi. Namun dalam praktik pemerintahan modern, tanggung jawab itu bergeser menjadi pengelolaan konsesi. Hutan berubah menjadi angka dalam proposal, gunung menjadi peluang investasi, dan sungai menjadi jalur pembuangan. Ketika bencana muncul, agama dipanggil untuk menenangkan, sementara kebijakan jarang sekali dipanggil untuk diperiksa. Doa menjadi solusi utama karena ia tidak membutuhkan anggaran, tidak menuntut audit, dan tidak mengancam posisi siapa pun.

Masyarakat sebenarnya sudah lama memahami pola ini. Mereka yang tinggal di pinggir hutan melihat truk kayu melintas pada malam hari. Mereka yang bekerja di sekitar perusahaan perkebunan mendengar obrolan tentang izin yang “diuruskan” dengan mudah. Mereka bukan ahli, tetapi pengalaman membuat mereka peka. Sayangnya, pengetahuan semacam itu tidak cukup kuat untuk menembus tembok prosedur birokrasi—tembok yang hanya dapat dibuka dengan dokumen resmi, bukan dengan intuisi.

Maka, alam mengambil peran yang tidak pernah bisa diambil masyarakat: ia menjadi saksi, sekaligus pengungkap. Air bah yang menyeret balok kayu itu berbicara dengan cara yang tidak dapat disensor. Ia mengungkap lebih banyak daripada konferensi pers, dan lebih jujur daripada infografik kementerian. Banjir itu memaksa kita melihat apa yang selama ini disembunyikan: bahwa kerusakan bukan produk dari badai ekstrem, melainkan akumulasi dari izin-izin yang dikeluarkan dengan mudah.

Dalam konteks itu, menyebut peristiwa ini sebagai “bencana alam” sebenarnya adalah eufemisme. Ia memutihkan sesuatu yang jauh lebih gelap. Ini bukan musibah yang jatuh dari langit; ini adalah konsekuensi kebijakan yang bocor, korupsi yang berkepanjangan, dan keserakahan yang memiliki struktur. Yang hanyut bukan hanya pepohonan, tetapi juga integritas mereka yang mengaku menjaga kepentingan publik.

Setiap kali seorang pejabat berkata, “Ini takdir,” kita perlu mempertanyakan: takdir siapa? Sebab sejauh yang terlihat, yang bekerja merusak hutan bukanlah hujan atau angin, tetapi manusia yang tanda tangannya tercantum di setiap lembar perizinan. Dan selama meja rapat masih menjadi tempat kelahiran kebijakan yang mengabaikan lingkungan, musibah akan terus datang—bukan sebagai kehendak alam, melainkan sebagai hasil keputusan yang manusia buat sendiri.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan