Konon, suatu hari Maha Guru Sufi Jalaluddin al-Rumi memperoleh pertanyaan pelik dari seorang muridnya: benarkah musik itu haram?
Setelah terdiam sejenak, Rumi akhirnya memberi jawaban: “Denting sendok yang beradu dengan piring, yang terdengar oleh kuping orang-orang yang sedang kelaparan, itulah yang haram.”
Dari jawaban Rumi tersebut, saya menangkap pesan bahwa yang haram bukan musiknya, atau alat musiknya, melainkan perilaku kita. Perilaku kita dalam bermusik. Perilaku kita dalam mendengarkan musik. Perilaku dalam memanfaatkan musik.
Sesuatu diharamkan pasti ada alasannya. Dalam hal musik, dikhawatirkan ia akan melenakan, dan manjauhkan seseorang dari mengingat Tuhan. Dikhawatirkan musik akan digunakan sebagai alat berolok-olok atau menebarkan pikiran-pikiran sesat atau hal-hal buruk lainnya.
Bagaimana jika musik justru membawa kita semakin dekat dengan dan selalu mengingat Tuhan? Bagaimana jika, dengan musik, ajaran Tuhan justru lebih mudah diterima, diserap, dan diamalkan?
Itulah yang dilakukan oleh Walisongo, misalnya Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang. Kedua wali penyebar Islam di Nusantara ini pasti tahu ada sebuah hadits di mana Rasul pernah mengatakan bahwa pada masanya akan ada umatnya yang menghalalkan alat musik. Tapi, Sunan Kalijaga justru banyak mengarang lagu, di antaranya Lingsir Wengi dan Lir-Ilir, yang tetap popular hingga kini. Lalu, ada wali yang berjuluk Sunan Bonang lantaran menciptakan gamelan, alat musik yang disebut bonang, yang terbuat dari tembaga. Sunan Bonang juga banyak menciptakan lagu, di antaranya Tombo Ati, yang juga sangat popular hingga kini.
Itulah di antara berbagai kreasi para wali dalam berdakwah. Kita tahu, sesungguhnya Islam telah masuk ke wilayah Nusantara sejak masa paling dini. Mungkin akhir abad ke-8 atau ke-9 Masehi. Namun penyebarannya terantuk jalan buntu selama lebih dari lima abad. Kemudian datang Walisongo yang tahu persis karakter masyarakat Nusantara: masyarakat yang tidak menolak atau menerima segala apa yang datang kepada dirinya, melainkan menyerap, mengolah, kemudian menjalankannya. Para wali ini kemudian membuat terobosan, breakthrough: berdakwah melalui jalan kebudayaan.
Maka, Sunan Kalijaga menggunakan wayang sebagai media dakwah. Kita tahu, jika memahami ajaran agama secara tekstual, maka semua yang ada pada pertunjukan wayang adalah hal-hal yang diharamkan. Ia peninggalan Hindu-Budha. Media wayangnya adalah gambar dua dimensi, malah ada yang tiga dimensi. Musiknya gamelan. Dan lagunya yang dinyanyikan sinden? Sudah pasti haram juga.
Tapi, di tangan Sunan Kalijaga, dalam cerita wayang muncul Jimat Kalimasada. Ini benda bertuah yang diperebutkan seluruh tokoh pewayangan. Jimat ini diperebutkan lantaran akan membuat manusia hidup tenteram dan bahagia dunia akhirat. Pada akhir cerita, kita tahu bahwa yang dimaksud Jimat Kalimasada adalah kalimat syahadattain, dua kalimat sahadat. Pesan dari perebutan jimat ini adalah: jika ingin selamat dan bahagia dunia akhirat, maka orang harus bersahadat, ber-Islam. Musik dan wayang pun, di tangan para wali, menjadi hal-hal yang sangat Ilahiah.
Maka terasa menggelikan jika akhir-akhir ini orang ramai masih suka berdebat kusir soal hukum halal-haramnya musik. Hingga, musisi-musisi hebat dan terkenal di Tanah Air, jika akan menjadi muslim yang baik, harus hijrah, harus meninggalkan dunia musik. Ditambah dengan mengubah penampilan: menjadi berjenggot dan bercelana cingkrang, atau bercadar, untuk menyempurnakan hijrahnya.
Jika menjadi muslim yang baik sama dengan harus tidak bermusik, maka orang lain yang akan memainkannya. Padahal, musik adalah soal kecerdasan. Hanya orang-orang cerdas dan jenius yang mampu melahirkan karya-karya musik yang hebat. Hanya orang-orang cerdas yang mampu menangkap hal-hal yang Ilahiah. Bahkan, banyak penelitian membuktikan, musik mampu mengasah dan meningkatkan kecerdasan seseorang. Hasil penelitian juga membuktikan: bayi yang sering mendengarkan musik ketika masih berada dalam kandungan akan tumbuh menjadi anak yang cerdas.
Dengan begitu, jika menjadi muslim yang baik sama dengan harus tidak bermusik, maka kita tidak akan pernah melahirkan generasi yang cerdas. Generasi yang mampu menangkap hal-hal yang Ilahiah, seperti yang telah dicontohkan oleh Walisongo. Yang kita lahirkan adalah generasi yang dungu: asal lagunya berbahasa Arab, seperti Ya Tab-tab, kita anggap lagu islami. Blunder tak bertepi.