Semenjak disusun oleh Abul Aswad Ad-Dualy pada abad ke-2 Hijriah, imu nahu telah mengalami berbagai perkembangan hingga saat ini. Ilmu yang pada awalnya diciptakan untuk menjaga orsinilitas kalam Arab yang saat itu mulai mengalami destruksi, kini telah berkembang sesuai dengan alur perkembangan linguistik dunia. Nahu kini bukan lagi disiplin ilmu yang orientasi utamanya adalah belajar agama saja. Nahu kini dipelajari sebagai alat bantu komunikasi dan literasi di dunia Arab, terutama duna Islam.
Pesantren adalah pusat studi nahu terbanyak di Indonesia. Semua pesantren pasti mengajarkan ilmu nahu sebagai bekal bagi para santri untuk digunakan sebagai alat baca kitab-kitab klasik alias turats.
Dalam dunia pesantren, nahu dikaji secara sinkronik. Fokus kajiannya adalah turats, mulai dari Al-Jurumiyah, Al-‘Imrithy, hingga Alfiyah Ibn Malik. Pengembangannya biasanya dikaji lewat kitab-kitab syarh maupun hasyiyah-nya.
Walaupun alur sinkroniknya begitu kuat, namun hasil kerja pesantren terhadap perkembangan populasi ahli nahu di Indonesia tak dapat diragukan lagi. Sementara itu, perguruan tinggi, kendatipun sifat kajian nahunya diakronik, belum mampu menandingi pesantren dalam segi kuantitas populasi ahli nahu.
Nahu dikaji di pesantren sebagai disiplin ilmu yang empirik. Praktikumnya dapat dilaksanakan secara inderawi. Contohnya adalah pada potongan bait Alfiyah ibn Malik berikut:
بالجر والتنوين والندا وأل # ومسند للإسم تمييز حصل
بتا فعلت وأتت ويا افعلي # ونون أقبلن فعل ينجلي
سواهما الحرف كهل وفي ولم # فعل مضارع يلي لم كيشم
Dalam bait itu disebutkan jenis-jenis kalimat dari kaca mata nahu beserta tanda yang melekat padanya. Misalkan, isim yang punya tanda jar, tanwin, nida’, al, dan lain-lain. Seluruh tanda tersebut adalah tanda-tanda isim secara empirik. Bisa dilakukan uji laboratorium bahwa mata seseorang atau telinganya akan mengetahui sebuah kata adalah isim atau fi’il dari tanda-tanda yang mereka lihat atau yang mereka dengarkan.
Peristiwa empirisitas nahu ini selaras dengan pemikiran Leonard Bloomfield, seorang pakar linguistik Amerika Serikat. Bloomfield menyatakan bahwa bahasa adalah peristiwa saintifik dan kasat mata, sehingga kemampuan indera manusia punya peran sangat penting di sini.
Bahasa adalah objek kajian yang observable. Makna dari sebuah kata dapat diperoleh melalui pola stimulus-respons yang dilakukan indera secara terus menerus. Menurut Bloomfield, bahasa hanya dapat dikaji lewat sesuatu yang kasat mata. Bahasa tidak dapat diukur melalui perasaan saja. Semua tanda isim yang dikemukakan Ibn Malik dalam Alfiyah-nya adalah entitas yang nyata, dan dapat dilihat atau didengar.
Argumen tersebut berseberangan dengan Tamam Hasan, seorang linguis modern. Menurut Hasan, kajian nahu harus berimbang antara kadar yang konkret dengan yang abstrak. Antara kontruksi yang kasat mata dengan ruh. Dalam karyanya, Al-Lughah Al-‘Arabiyah Ma’naha Wa Mabnaha, Hasan menuturkan:
إن التقسيم الذي جاء به النحاة إلى إعادة النظر ومحاولة التعديل بإنشاء تقسيم جديد على استخدام أكثر دقة لاعتباري المعنى والمبنى
Artinya: Aturan yang sudah ditetapkan oleh ahli nahu (klasik)membutuhkan telaah ulang serta upaya penyesuaian dengan membuat aturan yang baru, dengan mempertimbangkan secara lebih kompleks antara makna dan kontruksi kata.
Hal ini membawa Tamam Hasan mengajukan teori untuk menambahkan jenis kata dalam bahasa Arab menjadi 7, yakni isim, sifat, fi’il, dhamir, khalifah,dDzarf, dan ‘adat. Karena, menurutnya nahu klasik kurang berimbang dengan hanya menakar peristiwa empiriknya saja. Tanpa memperhitungkan faktor semantiknya.
Hal yang sama disampaikan oleh Noam Chomsky, linguis besar asal Amerika Serikat. Menurut Chomsky, bahasa lebih dari sekadar kadar material. Ada factor-faktor psiko-neurologis yang perlu dikaji lebih dalam.
Ia mengusulkan pengkajian ulang pengajaran bahasa dengan alasan bahwa kemampuan berbahasa tidak diperoleh secara induktif melalui pengkondisian behavioris mengenai rangsangan tanggapan, tetapi merupakan konsekuensi dari kapasitas kognitif bawaan yang dimiliki manusia. Menurut Chomsky, Teori Behaviorisme hanya terbatas sampai struktur permukaan saja. Menurutnya, perlu dipertimbangkan pula beberapa faktor psikologis dan neurologis.
Ilmu berkembang mengikuti semakin banyaknya hal baru yang disadari manusia. Oleh karena itu, marwah seorang santri akan terbentuk bila ia berkembang secara keilmuan, namun tetap bertahan pada akhlaknya yang khas. Perdebatan antata behaviouris dengan psiko-neurologis masih berlangsung hingga saat ini. Mana dari keduanya yang benar adalah hal yang tak perlu diperdebatkan. Yang perlu kita sadari adalah, semangat untuk terus berpikir kritis terhadap satu hal. Bahwa setiap orang dapat memandang satu hal dengan pandangan yang berbeda-beda.
Wallahu a’lam.