Diskursus mengenai pergerakan Nahdlatul Ulama (NU) tidak boleh dilepaskan dari perannya dalam melestarikan tradisi pesantren. Kealpaan memisahkan dua hal tersebut yang kemudian membuat sebagian pihak seringkali sulit memahami manuver NU ataupun tokoh-tokohnya.
Namun, bagi saya, kesukaran memahami langkah strategis NU itu tidak lain muncul karena salah mengambil sudut pandang atau memang tak mengerti inti perjuangan organisasi Islam terbesar di dunia ini. Padahal nalarnya sederhana saja. Bahwa NU hadir untuk merawat tradisi ngaji ala pesantren. Itulah akar aktivisme NU dalam semua ragam bentuknya.
Gagasan ini mungkin tampak klise, tapi nyatanya masih banyak yang belum mengerti betul implementasinya, mulai dari kalangan akar rumput hingga elite intelektual sekalipun. Oleh karena itu, perlu sekiranya saya uraikan lebih jauh bagaimana tradisi ngaji menjadi motif utama gerakan NU.
Tentu bukan tanpa alasan saya mengutarakan hal ini sekarang. Segera setelah Muktamar NU ke-34 di Lampung usai dan KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) terpilih sebagai Ketua Umum PBNU untuk periode 2021-2016, pikiran saya langsung berimajinasi jauh ke masa depan. Dinamika NU di kepengurusan yang baru ini saya prediksi akan memunculkan kejutan-kejutan baru yang pantas untuk dinanti. Maka uraian ini penting untuk mempersiapkan mental dan pikiran kita.
Jamak kita tahu bahwa Gus Yahya adalah Kiai yang “goes international”. Beliau telah melawat berbagai tokoh dunia di berbagai negara. Bahkan dari serangkaian lawatan itu, kehadiran Gus Yahya memenuhi undangan Israel di Yerussalem sempat menuai kontroversi yang cukup besar. Namun jika kita perhatikan bukan hanya Gus Yahya yang tindakannya menimbulkan banyak pertentangan. Tokoh-tokoh NU lain ternyata juga seringkali mendapat respons serupa.
KH Said Aqiel Siradj (Kiai Said), Ketua Umum PBNU sebelumnya, telah masyhur dengan pernyataan dan gagasannya kerap kali mendapatkan perlawanan dari banyak pihak, bahkan tak jarang perlawanan itu datang dari internal NU sendiri. Keputusan Kiai Ma’ruf Amin untuk maju sebagai Wakil Presiden RI juga menerima banyak kritik. Belum lagi ide-ide Gus Dur, guru Kiai Said sekaligus Gus Yahya, ini sudah kita ketahui bersama mendobrak banyak sekali gagasan-gagasan keagamaan usang yang sering membuat banyak pihak gusar. Dahulu kala NU bentrok dengan kelompok Islamis termasuk saat memutuskan menerima Pancasila sebagai asas tunggal organisasi di era Soeharto.