Madun adalah seorang santri yang lama mengabdi kepada kiai, menjadi khadam. Kini dia sudah alumni dan sudah lama hidup bermasyarakat. Kegiatan yang dia jalani setiap harinya adalah membantu orang tuanya mengelola sawah alias bertani.
Pada suatu hari dia ingin berkunjung kepada pesantrennya. Sebab dia sudah sangat lama tidak main ke pesantrennya. Saat itulah muncul dalam pikirannya seraya bergumam dalam hati, “Nanti kalau saya ke sana bawa oleh-oleh apa ya kepada kiai?”
Kebetulan waktu itu dia memiliki buah nangka yang sudah masak dan layak dikonsumsi, tetapi sudah tinggal sadugel alias separo karena sebagian telah dimakan oleh keluarganya.
Dengan keinginan yang sangat kuat diselimuti rasa rindu kepada pesantren dan kiai yang mendidiknya, akhirnya berangkatlah dia ke pesantren dengan berjalan kaki. Singkat cerita, setelah sampai di pesantrennya, dia langsung menuju ke dhalem (rumah) kiainya. Terjadilah pertemuan di antara madun dan kiainya.
“Kamu siapa?” tanya kiai seakan lupa dengan santrinya karena memang sudah sangat lama sekali madun tidak bersua dengannya.
“Saya Madun, Kiai.”
“Oh, kamu, Dun, lama sekali kamu tak pernah ke sini, ke mana saja kamu?”
“Saya membantu orang tua, Kiai, ngurus sawah.”
“Oh ya, ada perlu apa, Dun?”
“Saya ke sini, pertama silaturrahim, Kiai. Kedua, saya mohon doa barokah kiai agar hidup saya tenteram dan segera menikah. Ketiga saya minta amal-amalan untuk jaga-jaga.”
“Iya-iya-iya. Kamu bawa apa itu kok dibungkus?”
“Oh… ini buat nangka untuk Kiai dan Ibu Nyai, tapi maaf, Kiai, hanya sadugel.”
“Bawa nangka separo minta amalan,” Kiai bergumam. “Oh ya, kamu tadi mau minta amalan ya?”
“Iya, Kiai.”
Secara spontan, Kiai berucap, “Baca saja ‘Bismillah Nangka Sadugel’. Baca saja kalau kamu sedang kekepet atau ada hajat apa pun, pasti dikabul sama Allah.”